MENGGALI KEMBALI AKAR FALSAFAH PENDIDIKAN
DI TENGAH ARUS GLOBALISASI DAN PROBLEM KEBINGUNGAN PENDIDIKAN DALAM
MENGARAHKAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL.
(Oleh ; Fathur
roby Akhifiellah.mahasiswa semester 3 pasca sarjana STAIN Tulungagung)
Berbicara pendidikan tak ubahnya seperti membicarakan sebuah
persoalan yang tiada pangkalnya,begitu juga problem pendidikan yang tak ubahnya
nseperti pepatah perjuangan yang sering kita dengar “ mati satu tumbuh
seribu” persoalan pendidikan yang selalu muncul
dan hadir silih berganti mewarnai
dan menjadi dinammika problem pendidikan
nasional kita, misalnya problem kurikulum pendidikan yang berahir pada evaluai
ahir pendidikan yang di sebut UAN, yang
sudah sudah di di tetapkan dan berjalanpun tetap belum menemukan kesepakatan dan evaluasi yang sempurna sehingga benar-benar
menjadi sebuah pilihan dari sebuah visi dan misi pendidikan
nasional kita.
Dalam tulisan sederhana ini penulis tidak akan membahas secara
serius mengenai pendidikan secara disiplin menurut keilmuan filsafat, akan
tetapi hanya menampilkan secara umum saja, yang terkait dengan falsafah
pendidikan kita, Memang tidak mudah
merumuskan sebuah metode,dan kesepakan dalam merumuskan sebuah tujuan,dan
landasn pendidikan secara filosofis,dan membongkarnya dengan metode filsafat,
akan membutuhkan belasan atau ribuan lembaran untuk menulisnya, yang kemudian dapat
di jadikan visi dan misi pendidikan yang
efektif dan sesuai dengan kultur kebudayaan sebuah negara. Langsung saja Kita tengok berawal dari persoalan yang sering muncul di wajah muram
pendidikan nasionaal kita yang melahirkan anak didik yang semakin jauh dari
nilai-nilai dan norma kebudayaan kita, tawuran pelajar yang dulu hanya berada
di tingkat pelajar sekarangpunn sudah
terbawa dan secara kontinuitas
tumbuh di perguruan tinggi, tak ubahnya sebuah virus menular yang menjangkiti pada tubuh anak didik yang tak usang sembuh
hingga terbawa di kampus dan menjadi budaya negative yang semakin berkembang dan sulit di sembuhkan,di tambah
lagi pergaulan bebas,dan sex bebas di antara pelajar,yang memicu persoalan di
tingkatan internal sekolahan hingga menjadi problem social yang meresahkan, dan
yang sangat meggoncangkan lagi beberapa waktu yang lalu terjadi pembunuhan oleh
pelajar hingga kemudian sampai pada ranah hokum dan ham dan menjadi persoalan
pelik yang berbuntut panjang yang menghadirkan,memunculkan berbagai tanda Tanya
besar terhadap kualitas dan tanggung jawab lembaga pendidikan yang selama ini sangat
di percaya dan di harapkan mampu memberikan pendidikan yang berkualitas secara
rohani dan jasmani terhadap generasi bangsa ini
Bila kita bertanya
kenapa pendidikan kita seperti itu? Apa yang membuat anak didik bermental
kurang baik? Apakah yang salah dari visi dan misi pendidikan kita? Kenapa
muncul budaya anak didik yang semakin jauh dari akar kultur kita? dan kemana
pendidikan kita akan di bawa? Dan masih banyak pertanyaan yang mungkin lebih kritis dari pada itu, maka
sungguh berat menjawab dan menjadi bebban yang berat bila mana semua itu tidak
di landasi oleh kesadaran akan tanggung jawab bersama dari seluruh lapisan baik
lembaga pemerintahan dan masyarakat dan rakyat Indonesia sebagia orang tua
didik.
Di
sadari atau tidak hal itu akan trus
berkembang dan me njadi persoalan yang
tentunya harus di carikan solusinya yang kemudian mampu di terapkan,
namun akar persoalan semua itu tidak lain akibat menurunya ataupun
bergesernya pandangan atau falsafah pendidikan
kita yang semakin jauh dari falsafah pendidikan kebangsaan kita. Hal itu
terjadi oleh sebuah pergesekan halus
dari masuknya falsafah kebudayaan pendidikan barat yang semakin menyusup ke ranah falsafah pendidikan kta,
melalui arus besar yang kita sebut sebagai arus globalisasi, dan masuk ke
seluruh sector kehidupan bangsa kita melaluli jalur Globalisasi
Bidang . Globalisasi Bidang Sosial Budaya ,Hukum, Pertahanan, dan Keamanan, Globalisasi Bidang Ekonomi Sektor
Perdagangan, Globalisasi Bidang Ekonomi Sektor Produksi,dan lain
sebagainya.
MEMFILTER DAN BERKACA UNTUK KESELAMATAN PENDIDIKAN KITA DI TENGAH
ARUS GLOBALISASI
Arus
globalisasi di picu oleh Faktor-faktor
pendorong globalisasi antara lain: Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi Diterapkannya perdagangan bebas. Liberalisasi keuangan internasional, dan Meningkatnya
hubungan antar negara. Sedangkan Tujuan globalisasi ada tiga macam, yaitu Mempercepat penyebaran informasi dan Mempermudah setiap
orang memenuhi kebutuhan hidup, Memberi kenyamanan dalam beraktifitas.dari situ
persoalan kebangsaan ini muncul, di
mana akibat filterisasi dari arus globalisasi yang kurang maksimal dan kurang
kuat, dan masyarakat kita cenderung menerimanya mentah-mentah tanpa adanya
filterisasi yang kuat .arus globalaisasi tersebut ahirnya mampu menyusup dam
menjalar di seluruh aspek yang apabila tidak mampu memfiltyernya maka akan
menimbulkan beberapa kenegatifan seperti halnya Dampan negatif globalisasi di bidang sosial budaya : Semakin
mudahnya nilai-nilai negatif budaya barat masuk ke Indonesia baik melalui
internet, media televisi, maupun media cetak yang banyak ditiru oleh
masyarakat.Semaikin memudarnya apresiasi terhadap nilai-nilai budaya lokal yang
melahirkan gaya hidup Individualisme : mengutamakan kepentingan diri sendiri, Pragmatisme
: melakukan suatu kegiatan yang menguntungkan saja, Hedonisme : Paham yang
mengutamakan kepentingan keduniawian semata, Primitif : sesuatu yang sebelumnya
dianggap tabu, kemudian dianggap sebagai sesuatu yang biasa/ wajar, Konsumerisme
: pola konsumsi yang sudah melebihi batas, Semakin lunturnya semangat
gotong-royong, solidaritas, kepedulian, dan kesetiakawanan sosial sehingga
dalam keadaan tertentu/ darurat, misalnya sakit, kecelakaan, atau musibah hanya
ditangani oleh segelintir orang.
Namun Globalisasi memiliki arti penting
bagi bangsa Indonesia, yaitu kita dapat mengambil manfaat dari globalisasi dan
menerapkannya di Indonesia. Manfaat globalisasi antara lain kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, mempermudah arus modal dari negara lain, dan meningkatkan
perdagangan internasional.
Globalisasi
memiliki nilai-nilai positif namun juga memiliki nilai-nilai negatif. Untuk
menyaring nilai-nilai negatif maka kita harus berpedoman pada nilai-nilai
Pancasila, karena nilai-nilai Pancasila sesuai dengan situasi dan kondisi
bangsa Indonesia. Jika kita mengambil nilai-nilai negatif globalisasi, maka
yang akan terjadi adalah kaburnya jati diri bangsa Indonesia dan masuknya
kebiasaan-kebiasaan yang buruk.
Berbicara
filterisasi terhadap arus globalisasi tentu saja membutuhkan banyak tenaga dan
fikiran, namun secara sederhana dapat saya bahasakan dalam tulisan ini secara
singkat, filterisasi arus globalisasi atau penyaring arus globalisasi yang begitu kencang ini agar
tidak semua budaya barat masuk ke indonesisa, agar yang baik dapat diterima dan
yang buruk tidak diterima dan lebih baik di buang saja.
Alat filter itu kita sebut Pancasila. Sejak dahulu pancasila
menjadi pedoman dan cara hidup rakyat Indonesia, begitu kuatnya pancasila
mempersatukan bangsa Indonesia. Pancasila merupakan salah filter yang tepat
untuk menyaring globalisasi sehingga tidak semua budaya luardapat masuk begitu
saja. Tetapi sekarang ini pengertian rakyat mengenai pancasila sudah luntur.
Karena tidak adanya pendidikan pancasila lagi di sekolah di negeri ini. Derasnya arus globalisasi tiadak hanya terjadi dalam perekonomian
saja akan tetapi juga merambah dunia pendidikan dengan mengadopsi pendidikan
dari luar negeri seperti adanya program pemerintah untuk membentuk sekolah
berstandar internasional yang hanya bertujuan agar peserta didik tidak latah
ketika menuntut ilmu di luar negeri bahkan standar yang digunakan juga masing
belum jelas.
Belajar memfilter dan mengambil pelajaran dari budaya luar dalam Pendidikan
yang nantinya mampu di jadikan sebagai parameter kemajuan suatu bangsa dan
sudah semestinya menjadi sasaran utama dalam diskursus pembangunan nasional. Telah
tercatat dalam Sejarah yang menuliskan bahwa pendidikan sangat berpengaruh
terhadap watak suatu bangsa. Tengoklah 2 raksasa Asia dalam kemajuan teknologi,
jepang dan dwi Korea (korea utara dan korea selatan).
Munculnya dua Negara tersebut dalam kancah internasional sangat
erat hubungannya dengan reformasi pendidikan yang dilakukan pemerintah mereka.
Jepang awalnya hanyalah negara kecil yang sangat getol mempertahankan tradisi
nenek moyang yang jauh dari kesan modern. Sejarah klasik bangsa jepang sama
dengan bangsa china yang penuh dengan pertarungan memperebutkan wilayah jajahan
dengan pedang dan kekuasaan. Perubahan ektrem Jepang dimulai ketika mereka
merombak pendidikan menjadi motor pergerakan dengan merubah tujuan dan system
pendidikan. Pendidikan menjadi semacm alat untuk menciptakan manusia yang
progresif menguasai IPTEK. Banyak siswa yang mengalami depresi dan bahkan bunuh
diri karena kalah dalam kompetisi di sekolah. Humanisasi pendidikan hampir
tidak ada, pembelajaran difokuskan pada ketuntasan menguasai teknologi.
Kebijakan pendidikan yang sedemikian tentu memiliki sisi positif juga negative.
Jepang menjadi negara yang diperhitungkan dalam kancah global karena kemampuan
menguasai teknologi dunia. Hampir setiap detik ada inovasi baru dalam teknologi
modern di jepang. Namun disisi lain, banyak kritik terhadap pola pendidikan
semacam itu yang justru meniscayakan humanism dalam pendidikan, walaupun dalam
beberapa tahun terakhir pemerintah jepan sudah mulai berbenah diri dengan
kebijakan-kebijakan baru dalam pendidikan.
Hal penting yang bisa diambil dari pengalaman jepang adalah
pendidikan yang progress dalam kemajuan teknologi cenderung mengurangi nilai
humanistic dalam pendidikan. Tidak salah memang jika jepang dan negara maju
lainnya yang cenderung menjadikan pendidikan sebagai alat kemajuan bangsa,
tetapi pendidikan adalah interaksi antara manusia dengan sesamanya.
Dalam perspektif global, masalah pendidikan menjadi salah satu
masalah utama setiap bangsa. Penddikan juga menjadi semacam alat menguasai
bangsa lain. Jika diteliti dengan seksama, setiap bangsa meniliki karakter yang
berbeda dalam pendidikannya. Bangsa yang maju cenderung mapan dalam system
pendidikannya. Ada satu kecenderungan ddalam interaksi global dimana negara
maju memaksakan karakter pendidikannya sebagai cara halus untuk menanamkan
ideologinya. Negara denggan status negara ketiga menjadi ssaran empuk proyek
penjajahan modern ini.
Ditengah hiruk pikuk pergerakan bangsa, Indonesia berada pada
posisi transformasi menjadi negara maju dan modern. Hal penting yang perlu
mendapat sorotan, sekali lagi adalah dunia pendidikan. Jika ideology bangsa ini
kuat diinternalisasikan dalam pendidikan, maka ada semacam buffer untuk
membendung pengaruh ideology negara lain. Sekali lagi, pendidikan bisa menjadi
ajang pertarungan ideology antar negara maju dan menjadi ladang perebutan
ideology di negara kelas dua dan tiga.
Kekuatan ideology bangsa dalam pendidikan sekali lagi kita bisa
berkaca pada jepang. Kemajuan teknolgi di masyarakat tidak serta merta
meninggalkan ideolgi bangsa yang sejak dahulu menjadi karakter mereka.
Begitupun dengan negara maju lainnya, ada satu kecenderungan untuk kuat
mempertahankan ideology bangsanya dalam kancah pendidikannya. Melihat fenomena
soasial di negri ini, ada kekhawatiran terhadap kemampuan bangsa Indonesia
dalam mempertahankan ideologinya di tegah-tengah komunitas negara maju dan
modern. Mengapa kita tidak mampu (mau) meniru jepang yang tetap eksis ditengah
negara maju dengan ideology ‘kolot” nya. Barangkali kita memiliki semacam rasa
“malu” untuk mempertahankan ideology masa lalu.
Lihat saja dalam system pendidikan nasional saat ini. Hamir pasti
nilai pendidikan ke indonesiaan tergusur oleh nila-nilai pendidikan asing,
terutama barat. Karena itu tidak salah jika persoalan social di negri ini
hampir pasti babak baru dari persoalan social negara-negara barat di masa lalu.
MENEMUKAN AKAR
FALSAFAH PENDIDIKAN NASIONAL YANG DI UJUNG TANDUK
Apakah benar kita
telah semakin menjauh dari pondasi bangunan kokohnya Negara dan bangsa kita?
Apakah kita terlalu sibuk dalam belajarguna mengejar harapan yang ternyata di
dorog oleh egoisitas dan kepentingan individual untuk mendapatkan sebuah klaim
mkenjadi Negara yang maju,modern sesuai ukuran dan porsi dunia internasional?
Bila memang iya
maka perlu jawaban yang konkrit ats semua itu, bila kita sewbagai bangsa yang
besar dan menghargai sejarah dan pahlawan maka kita tentuynya tidak melupakan
amanat para pendahulu kita yang memperjuangkan bangsa ini, apa lagi kita
meninggalkanya.
Cerminan kondisi mundurnya moralitas anak didik yang semakin parah
ini di tengarai berbagai macam persoalan yang pada intinya tersebut di ats yang
bersumber dari arus besar Globalisasi, coba saja kita melihat realitas anak
didik yang secara trend sudah mengkiblat pada kebudayaan luar, mulai dari model
bahasa,style dan etika tida lagi mencerminkan kebudayaanya,apa lagi di Tanya
siapa gambar pahlawan yang berada di uang lembaran lima puluh ribuan
rupiah kita? Banyak di antara mereka
yang lupa atau mungkin tidak tahu, meskipun seringkali mereka memegangnya, yang
ada gambar-gambar itu hanya kan menjadi sibolisasi saja yang kurang di
perhatikan, malah sebaliknya, nalar materialistic untuk berlomba mendapatkan
lembaran itu di sadari oleh rel yang mampu mengantarkan mendapatkanya yaitu kita
sebut dengan Rel pendidikan yang menjanjikan mempermudah mendapatkanya dengan
gelar yang di sandangnya dari jalur pendidikan yang tinggi. Benar adanya dan
tidak salah, tanpa pendidikan semua sulit di raih, akan tyetapi perlu di
kritisi dan di fikirkan ulang, bahwa tujuan ahir pendidikan bukan mengejar
materi, akan tetapi pendidikan adalh pembangunan jasmani dan rohani,
kognisi,afeksi dan mental, seperti yang di ungkapkan Ki Hajar Dewantara , Pendidikan
harus di titik beratkan pada jati diri manusia sendiri dan penilaian
keberhasilan terhadap pendidikannya bukan dari dari konsep atau hasil yang
telah dicapai, tetapi keberhasilan pengembangan jati diri dan sampai di mana
dia berhasil menguasai hasil jerih payahnya bukan hasil jerih payahnya yang
menguasai manusia itu sendiri.nah itulah
tugas para guru yang hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam
kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi
pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan
bangsa. Tidak hanya saja hari ini kita lebih mengenalnya dengan bahasa ,sebutan
Guru professional, yang ahli, dan cerdas di bidangnya, bukan maksud
menyinggung, akan tetapi kita mencoba menkaji dan merasakan dari hati kehati
meskipun itu hanya sekedar bahasa sebutan. Akan tetapi lebih penting dari itu
adalah menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti
membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh
berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya
rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the
heart, and the hand !”
Akar
Pondasi sebuah bangsa tentunya harus di ilhami oleh setiap warga Negara yaitu Pancasila yang dikatakan sebagai
filsafah hidup bangsa karena menurut Muhammad Noor Syam (1983: 346),
nilai-nilai dasar dalam sosio budaya Indonesia hidup dan berkembang sejak awal
peradabannya, yang meliputi:
1.
Kesadaran ketuhanan dan kesadaran
keagamaan secara sederhana.
2.
Kesadaran kekeluargaan, di mana
cinta dan keluarga sebagai dasar dan kodrat terbentuknya masyarakat dan
sinambungnya generasi.
3.
Kesadaran musyaawarah mufakat dalam
menetapkan kehendak bersama.
4.
Kesadaran gotong royong,
tolong-menolong.
5.
Kesadaran tenggang rasa, atau tepo
seliro, sebagai semangat kekeluargaan dan kebersamaan, hormat demi
keutuhan, kerukunan dan kekeluargaan dalam kebersamaan.
Itulah yang termaktub dalam Pancasila dengan 36
butir-butirnya. Dengan begitu, pada dasarnya masyarakat Indonesia telah melaksanakan
Pancasila, walaupun sifatnya masih merupakan kebudayaan. Nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila tersebut sudah berababd lamanya mengakar pada
kehidupan bangsa Indonesia, karena itu Pancasila dijadikan sebagai falsafah
hidup bangsa. Jika pendidikan suatu bangsa akan secara otomatis mengikuti
ideologi bangsa yang dianut, karenanya sistem pendidikan nasional Indonesia
dijiwai, didasari dan mencerminkan identitas Pancasila. Sementara cita dan
karsa bangsa kita, tujuan nasional dan hasrat luhur rakyat Indonesia, tersimpul
dalam pembukaan UUD 1945 sebagai perwujudan jiwa dan nilai Pancasila. Cita dan
karsa itu dilembagakan dalam sistem pendidikan nasional yang bertumpu dan
dijiwai oleh suatu keyakinan, dan pandangan hidup Pancasila. Inilah alasan
mengapa filsafat pendidikan Pancasila merupakan tuntutan nasional, sedangkan
filsafat pendidikan Pancasila adalah subsistem dari sistem negara Pancasila.
Dengan kata lain, sistem negara Pancasila wajar tercermin dan dilaksanakan di
dalam berbagai subsistem kehidupan bangsa dan masyarakat.
Dengan demikian, jelaslah tidak mungkin Sistem Pendidikan
Nasional dijiwai dan didasari oleh sistem filsafat pendidikan yang selain
Pancasila. Hal ini tercermin dalam tujuan Pendidikan Nasional yang termuat
dalam UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yakni: pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan,
keterampilan, kesehatan jasmani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta
bertanggung jawab kemasyarakatan.
daftar pustaka : di ambil dari berbagai sumber....
mmm.....to be continued.....bro..!!!