Kamis, 15 November 2012

MENGGALI KEMBALI AKAR FALSAFAH PENDIDIKAN DI TENGAH ARUS GLOBALISASI DAN PROBLEM KEBINGUNGAN PENDIDIKAN DALAM MENGARAHKAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL.


MENGGALI KEMBALI AKAR FALSAFAH PENDIDIKAN
DI TENGAH ARUS GLOBALISASI DAN PROBLEM KEBINGUNGAN PENDIDIKAN DALAM MENGARAHKAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL.

(Oleh ; Fathur roby Akhifiellah.mahasiswa semester 3 pasca sarjana STAIN Tulungagung)

Berbicara  pendidikan  tak ubahnya seperti membicarakan sebuah persoalan yang tiada pangkalnya,begitu juga problem pendidikan yang tak ubahnya nseperti  pepatah perjuangan  yang sering kita dengar “ mati satu tumbuh seribu” persoalan pendidikan yang selalu muncul  dan  hadir silih berganti mewarnai dan menjadi  dinammika problem pendidikan nasional kita, misalnya problem kurikulum pendidikan yang berahir pada evaluai ahir pendidikan yang di sebut UAN, yang  sudah sudah di di tetapkan dan berjalanpun  tetap belum menemukan kesepakatan dan  evaluasi yang sempurna sehingga benar-benar menjadi  sebuah  pilihan dari sebuah visi dan misi pendidikan nasional kita.
Dalam tulisan sederhana ini penulis tidak akan membahas secara serius mengenai pendidikan secara disiplin menurut keilmuan filsafat, akan tetapi hanya menampilkan secara umum saja, yang terkait dengan falsafah pendidikan kita, Memang tidak mudah  merumuskan  sebuah metode,dan  kesepakan dalam merumuskan sebuah tujuan,dan landasn pendidikan secara filosofis,dan membongkarnya dengan metode filsafat, akan membutuhkan belasan atau ribuan lembaran untuk menulisnya, yang kemudian dapat di jadikan  visi dan misi pendidikan yang efektif dan sesuai dengan kultur kebudayaan sebuah negara.  Langsung saja Kita tengok berawal dari  persoalan yang sering muncul di wajah muram pendidikan nasionaal kita yang melahirkan anak didik yang semakin jauh dari nilai-nilai dan norma kebudayaan kita, tawuran pelajar yang dulu hanya berada di tingkat pelajar sekarangpunn sudah  terbawa  dan secara kontinuitas tumbuh di perguruan tinggi, tak ubahnya sebuah virus menular yang menjangkiti  pada tubuh anak didik yang tak usang sembuh hingga terbawa di kampus dan menjadi budaya negative yang semakin   berkembang dan sulit di sembuhkan,di tambah lagi pergaulan bebas,dan sex bebas di antara pelajar,yang memicu persoalan di tingkatan internal sekolahan hingga menjadi problem social yang meresahkan, dan yang sangat meggoncangkan lagi beberapa waktu yang lalu terjadi pembunuhan oleh pelajar hingga kemudian sampai pada ranah hokum dan ham dan menjadi persoalan pelik yang berbuntut panjang yang menghadirkan,memunculkan berbagai tanda Tanya besar terhadap kualitas dan tanggung jawab lembaga pendidikan yang selama ini sangat di percaya dan di harapkan mampu memberikan pendidikan yang berkualitas secara rohani dan jasmani terhadap generasi bangsa ini
            Bila kita bertanya kenapa pendidikan kita seperti itu? Apa yang membuat anak didik bermental kurang baik? Apakah yang salah dari visi dan misi pendidikan kita? Kenapa muncul budaya anak didik yang semakin jauh dari akar kultur kita? dan kemana pendidikan kita akan di bawa? Dan masih banyak pertanyaan yang  mungkin lebih kritis dari pada itu, maka sungguh berat menjawab dan menjadi bebban yang berat bila mana semua itu tidak di landasi oleh kesadaran akan tanggung jawab bersama dari seluruh lapisan baik lembaga pemerintahan dan masyarakat dan rakyat Indonesia sebagia orang tua didik.
                  Di sadari atau tidak hal itu  akan trus berkembang dan me njadi persoalan yang  tentunya harus di carikan solusinya yang kemudian mampu di terapkan, namun akar persoalan semua  itu  tidak lain akibat menurunya ataupun bergesernya  pandangan atau falsafah pendidikan kita yang semakin jauh dari falsafah pendidikan kebangsaan kita. Hal itu terjadi oleh sebuah pergesekan halus  dari masuknya falsafah kebudayaan pendidikan barat yang semakin  menyusup ke ranah falsafah pendidikan kta, melalui arus besar yang kita sebut sebagai arus globalisasi, dan masuk ke seluruh sector kehidupan bangsa kita melaluli jalur Globalisasi Bidang .    Globalisasi Bidang Sosial Budaya ,Hukum, Pertahanan, dan Keamanan, Globalisasi Bidang Ekonomi Sektor Perdagangan, Globalisasi Bidang Ekonomi Sektor Produksi,dan lain sebagainya.
           
MEMFILTER DAN BERKACA UNTUK KESELAMATAN PENDIDIKAN KITA DI TENGAH ARUS GLOBALISASI

Arus globalisasi di picu oleh Faktor-faktor pendorong globalisasi antara lain:  Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Diterapkannya perdagangan bebas. Liberalisasi keuangan internasional, dan Meningkatnya hubungan antar negara. Sedangkan Tujuan globalisasi ada tiga macam, yaitu  Mempercepat penyebaran informasi dan Mempermudah setiap orang memenuhi kebutuhan hidup, Memberi kenyamanan dalam beraktifitas.dari situ persoalan kebangsaan ini muncul, di mana akibat filterisasi dari arus globalisasi yang kurang maksimal dan kurang kuat, dan masyarakat kita cenderung menerimanya mentah-mentah tanpa adanya filterisasi yang kuat .arus globalaisasi tersebut ahirnya mampu menyusup dam menjalar di seluruh aspek yang apabila tidak mampu memfiltyernya maka akan menimbulkan beberapa kenegatifan seperti halnya Dampan negatif globalisasi di bidang sosial budaya : Semakin mudahnya nilai-nilai negatif budaya barat masuk ke Indonesia baik melalui internet, media televisi, maupun media cetak yang banyak ditiru oleh masyarakat.Semaikin memudarnya apresiasi terhadap nilai-nilai budaya lokal yang melahirkan gaya hidup Individualisme : mengutamakan kepentingan diri sendiri, Pragmatisme : melakukan suatu kegiatan yang menguntungkan saja, Hedonisme : Paham yang mengutamakan kepentingan keduniawian semata, Primitif : sesuatu yang sebelumnya dianggap tabu, kemudian dianggap sebagai sesuatu yang biasa/ wajar, Konsumerisme : pola konsumsi yang sudah melebihi batas, Semakin lunturnya semangat gotong-royong, solidaritas, kepedulian, dan kesetiakawanan sosial sehingga dalam keadaan tertentu/ darurat, misalnya sakit, kecelakaan, atau musibah hanya ditangani oleh segelintir orang.

Namun Globalisasi memiliki arti penting bagi bangsa Indonesia, yaitu kita dapat mengambil manfaat dari globalisasi dan menerapkannya di Indonesia. Manfaat globalisasi antara lain kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mempermudah arus modal dari negara lain, dan meningkatkan perdagangan internasional.
Globalisasi memiliki nilai-nilai positif namun juga memiliki nilai-nilai negatif. Untuk menyaring nilai-nilai negatif maka kita harus berpedoman pada nilai-nilai Pancasila, karena nilai-nilai Pancasila sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Jika kita mengambil nilai-nilai negatif globalisasi, maka yang akan terjadi adalah kaburnya jati diri bangsa Indonesia dan masuknya kebiasaan-kebiasaan yang buruk.
Berbicara filterisasi terhadap arus globalisasi tentu saja membutuhkan banyak tenaga dan fikiran, namun secara sederhana dapat saya bahasakan dalam tulisan ini secara singkat, filterisasi arus globalisasi atau penyaring arus globalisasi yang begitu kencang ini agar tidak semua budaya barat masuk ke indonesisa, agar yang baik dapat diterima dan yang buruk tidak diterima dan lebih baik di buang saja.
Alat filter itu kita sebut Pancasila. Sejak dahulu pancasila menjadi pedoman dan cara hidup rakyat Indonesia, begitu kuatnya pancasila mempersatukan bangsa Indonesia. Pancasila merupakan salah filter yang tepat untuk menyaring globalisasi sehingga tidak semua budaya luardapat masuk begitu saja. Tetapi sekarang ini pengertian rakyat mengenai pancasila sudah luntur. Karena tidak adanya pendidikan pancasila lagi di sekolah di negeri ini. Derasnya arus globalisasi tiadak hanya terjadi dalam perekonomian saja akan tetapi juga merambah dunia pendidikan dengan mengadopsi pendidikan dari luar negeri seperti adanya program pemerintah untuk membentuk sekolah berstandar internasional yang hanya bertujuan agar peserta didik tidak latah ketika menuntut ilmu di luar negeri bahkan standar yang digunakan juga masing belum jelas.     
Belajar memfilter dan mengambil pelajaran dari budaya luar dalam Pendidikan yang nantinya mampu di jadikan sebagai parameter kemajuan suatu bangsa dan sudah semestinya menjadi sasaran utama dalam diskursus pembangunan nasional. Telah tercatat dalam Sejarah yang menuliskan bahwa pendidikan sangat berpengaruh terhadap watak suatu bangsa. Tengoklah 2 raksasa Asia dalam kemajuan teknologi, jepang dan dwi Korea (korea utara dan korea selatan).
Munculnya dua Negara tersebut dalam kancah internasional sangat erat hubungannya dengan reformasi pendidikan yang dilakukan pemerintah mereka. Jepang awalnya hanyalah negara kecil yang sangat getol mempertahankan tradisi nenek moyang yang jauh dari kesan modern. Sejarah klasik bangsa jepang sama dengan bangsa china yang penuh dengan pertarungan memperebutkan wilayah jajahan dengan pedang dan kekuasaan. Perubahan ektrem Jepang dimulai ketika mereka merombak pendidikan menjadi motor pergerakan dengan merubah tujuan dan system pendidikan. Pendidikan menjadi semacm alat untuk menciptakan manusia yang progresif menguasai IPTEK. Banyak siswa yang mengalami depresi dan bahkan bunuh diri karena kalah dalam kompetisi di sekolah. Humanisasi pendidikan hampir tidak ada, pembelajaran difokuskan pada ketuntasan menguasai teknologi. Kebijakan pendidikan yang sedemikian tentu memiliki sisi positif juga negative. Jepang menjadi negara yang diperhitungkan dalam kancah global karena kemampuan menguasai teknologi dunia. Hampir setiap detik ada inovasi baru dalam teknologi modern di jepang. Namun disisi lain, banyak kritik terhadap pola pendidikan semacam itu yang justru meniscayakan humanism dalam pendidikan, walaupun dalam beberapa tahun terakhir pemerintah jepan sudah mulai berbenah diri dengan kebijakan-kebijakan baru dalam pendidikan.
Hal penting yang bisa diambil dari pengalaman jepang adalah pendidikan yang progress dalam kemajuan teknologi cenderung mengurangi nilai humanistic dalam pendidikan. Tidak salah memang jika jepang dan negara maju lainnya yang cenderung menjadikan pendidikan sebagai alat kemajuan bangsa, tetapi pendidikan adalah interaksi antara manusia dengan sesamanya.
Dalam perspektif global, masalah pendidikan menjadi salah satu masalah utama setiap bangsa. Penddikan juga menjadi semacam alat menguasai bangsa lain. Jika diteliti dengan seksama, setiap bangsa meniliki karakter yang berbeda dalam pendidikannya. Bangsa yang maju cenderung mapan dalam system pendidikannya. Ada satu kecenderungan ddalam interaksi global dimana negara maju memaksakan karakter pendidikannya sebagai cara halus untuk menanamkan ideologinya. Negara denggan status negara ketiga menjadi ssaran empuk proyek penjajahan modern ini.
Ditengah hiruk pikuk pergerakan bangsa, Indonesia berada pada posisi transformasi menjadi negara maju dan modern. Hal penting yang perlu mendapat sorotan, sekali lagi adalah dunia pendidikan. Jika ideology bangsa ini kuat diinternalisasikan dalam pendidikan, maka ada semacam buffer untuk membendung pengaruh ideology negara lain. Sekali lagi, pendidikan bisa menjadi ajang pertarungan ideology antar negara maju dan menjadi ladang perebutan ideology di negara kelas dua dan tiga.
Kekuatan ideology bangsa dalam pendidikan sekali lagi kita bisa berkaca pada jepang. Kemajuan teknolgi di masyarakat tidak serta merta meninggalkan ideolgi bangsa yang sejak dahulu menjadi karakter mereka. Begitupun dengan negara maju lainnya, ada satu kecenderungan untuk kuat mempertahankan ideology bangsanya dalam kancah pendidikannya. Melihat fenomena soasial di negri ini, ada kekhawatiran terhadap kemampuan bangsa Indonesia dalam mempertahankan ideologinya di tegah-tengah komunitas negara maju dan modern. Mengapa kita tidak mampu (mau) meniru jepang yang tetap eksis ditengah negara maju dengan ideology ‘kolot” nya. Barangkali kita memiliki semacam rasa “malu” untuk mempertahankan ideology masa lalu.
Lihat saja dalam system pendidikan nasional saat ini. Hamir pasti nilai pendidikan ke indonesiaan tergusur oleh nila-nilai pendidikan asing, terutama barat. Karena itu tidak salah jika persoalan social di negri ini hampir pasti babak baru dari persoalan social negara-negara barat di masa lalu.
MENEMUKAN AKAR FALSAFAH PENDIDIKAN NASIONAL YANG DI UJUNG TANDUK
            Apakah benar kita telah semakin menjauh dari pondasi bangunan kokohnya Negara dan bangsa kita? Apakah kita terlalu sibuk dalam belajarguna mengejar harapan yang ternyata di dorog oleh egoisitas dan kepentingan individual untuk mendapatkan sebuah klaim mkenjadi Negara yang maju,modern sesuai ukuran dan porsi dunia internasional?
            Bila memang iya maka perlu jawaban yang konkrit ats semua itu, bila kita sewbagai bangsa yang besar dan menghargai sejarah dan pahlawan maka kita tentuynya tidak melupakan amanat para pendahulu kita yang memperjuangkan bangsa ini, apa lagi kita meninggalkanya.
Cerminan kondisi mundurnya moralitas anak didik yang semakin parah ini di tengarai berbagai macam persoalan yang pada intinya tersebut di ats yang bersumber dari arus besar Globalisasi, coba saja kita melihat realitas anak didik yang secara trend sudah mengkiblat pada kebudayaan luar, mulai dari model bahasa,style dan etika tida lagi mencerminkan kebudayaanya,apa lagi di Tanya siapa gambar pahlawan yang berada di uang lembaran lima puluh ribuan rupiah  kita? Banyak di antara mereka yang lupa atau mungkin tidak tahu, meskipun seringkali mereka memegangnya, yang ada gambar-gambar itu hanya kan menjadi sibolisasi saja yang kurang di perhatikan, malah sebaliknya, nalar materialistic untuk berlomba mendapatkan lembaran itu di sadari oleh rel yang mampu mengantarkan mendapatkanya yaitu kita sebut dengan Rel pendidikan yang menjanjikan mempermudah mendapatkanya dengan gelar yang di sandangnya dari jalur pendidikan yang tinggi. Benar adanya dan tidak salah, tanpa pendidikan semua sulit di raih, akan tyetapi perlu di kritisi dan di fikirkan ulang, bahwa tujuan ahir pendidikan bukan mengejar materi, akan tetapi pendidikan adalh pembangunan jasmani dan rohani, kognisi,afeksi dan mental, seperti yang di ungkapkan Ki Hajar Dewantara , Pendidikan harus di titik beratkan pada jati diri manusia sendiri dan penilaian keberhasilan terhadap pendidikannya bukan dari dari konsep atau hasil yang telah dicapai, tetapi keberhasilan pengembangan jati diri dan sampai di mana dia berhasil menguasai hasil jerih payahnya bukan hasil jerih payahnya yang menguasai manusia itu sendiri.nah itulah tugas para guru yang  hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Tidak hanya saja hari ini kita lebih mengenalnya dengan bahasa ,sebutan Guru professional, yang ahli, dan cerdas di bidangnya, bukan maksud menyinggung, akan tetapi kita mencoba menkaji dan merasakan dari hati kehati meskipun itu hanya sekedar bahasa sebutan. Akan tetapi lebih penting dari itu adalah menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !”
Akar Pondasi sebuah bangsa tentunya harus di ilhami oleh setiap warga Negara yaitu Pancasila yang dikatakan sebagai filsafah hidup bangsa karena menurut Muhammad Noor Syam (1983: 346), nilai-nilai dasar dalam sosio budaya Indonesia hidup dan berkembang sejak awal peradabannya, yang meliputi:
1.      Kesadaran ketuhanan dan kesadaran keagamaan secara sederhana.
2.      Kesadaran kekeluargaan, di mana cinta dan keluarga sebagai dasar dan kodrat terbentuknya masyarakat dan sinambungnya generasi.
3.      Kesadaran musyaawarah mufakat dalam menetapkan kehendak bersama.
4.      Kesadaran gotong royong, tolong-menolong.
5.      Kesadaran tenggang rasa, atau tepo seliro, sebagai semangat kekeluargaan dan kebersamaan, hormat demi keutuhan, kerukunan dan kekeluargaan dalam kebersamaan.
Itulah yang termaktub dalam Pancasila dengan 36 butir-butirnya. Dengan begitu, pada dasarnya masyarakat Indonesia telah melaksanakan Pancasila, walaupun sifatnya masih merupakan kebudayaan. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut sudah berababd lamanya mengakar pada kehidupan bangsa Indonesia, karena itu Pancasila dijadikan sebagai falsafah hidup bangsa. Jika pendidikan suatu bangsa akan secara otomatis mengikuti ideologi bangsa yang dianut, karenanya sistem pendidikan nasional Indonesia dijiwai, didasari dan mencerminkan identitas Pancasila. Sementara cita dan karsa bangsa kita, tujuan nasional dan hasrat luhur rakyat Indonesia, tersimpul dalam pembukaan UUD 1945 sebagai perwujudan jiwa dan nilai Pancasila. Cita dan karsa itu dilembagakan dalam sistem pendidikan nasional yang bertumpu dan dijiwai oleh suatu keyakinan, dan pandangan hidup Pancasila. Inilah alasan mengapa filsafat pendidikan Pancasila merupakan tuntutan nasional, sedangkan filsafat pendidikan Pancasila adalah subsistem dari sistem negara Pancasila. Dengan kata lain, sistem negara Pancasila wajar tercermin dan dilaksanakan di dalam berbagai subsistem kehidupan bangsa dan masyarakat.
Dengan demikian, jelaslah tidak mungkin Sistem Pendidikan Nasional dijiwai dan didasari oleh sistem filsafat pendidikan yang selain Pancasila. Hal ini tercermin dalam tujuan Pendidikan Nasional yang termuat dalam UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni: pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan, kesehatan jasmani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab kemasyarakatan.

 daftar pustaka : di ambil dari berbagai sumber....

PERGURUAN TINGGI ISLAM SEBAGAI PENYELESEIAN  PERSOALAN MENURUNYA MORALITAS DAN MENGARAHKAN TUJUAN  PENDIDIKAN. 


mmm.....to be continued.....bro..!!!

Minggu, 21 Oktober 2012

INTELEGENSIA


INTELEGENSIA
Makalah ini Diajukan Sebagai Bahan Diskusi Mata Kuliah

PSIKOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Dosen Pengampu :
Dr. Hj. Binti Maunah, M. Pd. I. dan
Dr. Sulistyorini, M. Ag

STAIN TULUNGAGUNG WARNA.jpg








Disusun oleh:

Fathur Rochman           NIM :2841114015





MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) TULUNGAGUNG

2012




KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan hanya kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat, taufik serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyusun makalah ini yang berjudul “ INTELEGENSIA” Kami ingin mengucapkan terima kasih pada beberapa pihak yang telah berjasa dalam penyusunan makalah ini.
Pertama , kepada Ketua Stain Tulungagung, dan  terima kasih kepada Dosen Pengampu : Dr. Hj. Binti Maunah, M. Pd. I. dan  Dr. Sulistyorini, M. Ag selaku dosen pembimbing mata Kuliah psikologi pendidikan Islam , kedua kepada pihak – pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan, karena itu, demi perbaikan makalah ini , segala kritik , saran , tegur dan masukan yang membangun akan senantiasa kami terima dengan lapang hati. Semoga makalah ini bermanfaat , khususnya bagi para mahasiswa.



                                                                        
Tulunagung 22,Oktober 2012
Penulis






Penyusun
                                


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………I

PENDAHULUAN……………………………………………………………………………II

PEMBAHASAN…………………………………………………………………………….III
A.    LATAR BELAKANG
B.  Sedang Ciri-ciri Perbuatan Intelegensi
C.  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intelegensi
D.  Intelegensi dan IQ
E.  Intelegensi  dalam Pendidikan Islam
F.   Pengukuran Intelegensi Umum
G.  Intelegensi Jenis Lain
KESIMPULAN.
DAFTAR PUSTAKA






BAB. I
PENDAHULUAN
B.      LATAR BELAKANG
         Dalam dunia pendidikan dan pengajaran  masalah intelegensi merupakan salah satu masalah pokok, karena tidak mengherankan kalau masalah tersebut  banyak dikupas orang, baik secara khusus maupun secara sambil lalu dalam pertautan dengan pengupasan yang lain. Tentang peranan intelegensi itu dalam proses pendidikan ada yang menganggap demikian pentingnya sehingga dipandang menentukan  dalam hal berhasil dan tidaknya seseorang dalam hal belajar, sedang pada sisi lain ada juga yang menganggap bahwa intelegensi  tidak lebih mempengaruhi soal tersebut. Tetapi pada umumnya orang berpendapat, bahwa intelegensi merupakan salah satu faktor penting yang ikut menentukan berhasil atau gagalnya belajar seseorang, lebih-lebih  pada waktu anak masih muda. Tes intelegensi dianggap sebagai sesuatu yang serba dapat menentukan ,sebagai suatu yang “allmighty’’. Tes intelegensi dapat dipakai sebagai dasar yang kuat dalam menentukan berbagai hal mengenai kemampuan manusia, terlebih lagi dalam lapangan pendidikan  penggunaan tes intelegensi itu lebih luas lagi.[1]
          B.      BATASAN MASALAH
Membahas pengertian dan karakteristik intelegensi, membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan intelegensi, dan membahas tentang intelegensi dalam pendidikan islam.
C.      RUMUSAN MASALAH
Apa itu pengertian intelegensi ?
Apa saja karakteristi intelegensi /kecerdasan itu ?
Bagaimana Intelejgensi dalam islam ?
D.      Tujuan
Menjelaskan pengertian intelegensi.
Menjelaskan karakteristik intelegensi
Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan intelegensi.










BAB II
PEMBAHASAN
INTELEGENSI
A. Definisi dan Ciri-ciri Intelegensi
Intelegensi berasal dari bahasa Inggris Intelligence. Intelligence sendiri adalah terjemahan dari bahasa Latin intellectus dan intelligentiae. Teori tentang intelegensi pertama kali dikemukakan oleh Spearman dan Wynn Jones Pol tahun 1951 Spearman dan Wynn mengemukakan adanya konsep lama mengenai suatu kekuatan (power) yang dapat melengkapi akal pikiran manusia tunggal pengetahuan sejati. Kekuatan tersebut dalam bahasa Yunani disebut “Nous†sedangkan penggunaan kekuatan disebut “Noesisâ€.
Secara bahasa Integensi dapat diartikan dengan kecerdasan, pemahaman, kecepatan, kesempurnaan sesuatu atau kemampuan. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indoneseia (KBBI) intelegensi adalah daya menyesuaikan diri dengan keadaan baru dengan mempergunakan alat-alat berpikir menurut tujuan dan kecerdasannya.
Claparde dan Stern mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru.
David Wechster (1986). Definisinya mengenai intelegensi mula-mula sebagai kapasitas untuk mengerti ungkapan dan kemauan akal budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya. Namun di lain kesempatan ia mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berfikir secara rasional dan menghadapi lingkungannya secara efektif .[2]
Dari batasan yang dikemukakan di atas, dapat kita ketahui bahwa:
a. Intelegensi itu ialah faktor total berbagai macam daya jiwa erat bersangkutan di dalamnya (ingatan, fantasi, penasaran, perhatian, minat dan sebagainya juga mempengaruhi intelegensi seseorang).
b. Kita hanya dapat mengetahui intelegensi dari tingkah laku atau perbuatannya yang tampak. Intelegensi hanya dapat kita ketahui dengan cara tidak langsung melalui “kelakuan intelegensinya”.
c. Bagi suatu perbuatan intelegensi bukan hanya kemapuan yang dibawa sejak lahir saja, yang penting faktor-faktor lingkungan dan pendidikan pun memegang peranan.
d. Bahwa manusia itu dalam kehidupannya senantiasa dapat menentukan tujuan-tujuan yang baru, dapat memikirkan dan menggunakan cara-cara untuk mewujudkan dan mencapai tujuan itu.
Ciri-ciri intelegensi yaitu :
1. Intelegensi merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berfikir secara rasional (intelegensi dapat diamati secara langsung).
2. Intelegensi tercermin dari tindakan yang terarah pada penyesuaian diri terhadap l    ingkungan dan pemecahan masalah yang timbul daripadany[3]

B.        Sedang Ciri-ciri Perbuatan Intelegensi
Suatu perbuatan dapat dianggap intelegen bila memenuhi beberapa syarat, antara lain:
  1. Masalah yang dihadapi banyak sedikitnya merupakan masalah yang baru bagi yang bersangkutan.
  2. Perbuatan intelegen sifatnya serasi tujuan dan ekonomis.
  3. Masalah yang dihadapi harus mengandung suatu tingkat kesulitan bagi yang bersangkutan.
  4. Keterangan pemecahan masalahnya harus dapat diterima oleh masyarakat.
  5. Perbuatan intelegen bercirikan kecepatan, cepat tanggap dan tangkas.
  6. Membutuhkan pemusatan perhatian dan menghindarkan perasaan yang mengganggu jalannya pemecahan masalah yang dihadapi.
Contoh perbuatan yang menyangkut intelejensi: jika seseorang mengamati taman bunga, ini adalah persepsi. Tetapi kalau ia mengamati bunga-bunga yang sejenis atau mulai menghitung, menganalisa, membandingkan dari berbagai macam bunga yang ada dalam taman tersebut, maka perbuatannya sudah merupakan perbuatan yang berintelegensi.
C.        Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intelegensi [4]
a. Pengaruh faktor bawaan
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu yang berasal dari suatu keluarga, atau bersanak saudara, nilai dalam tes IQ mereka berkolerasi tinggi ( + 0,50 ), orang yang kembar ( + 0,90 ) yang tidak bersanak saudara ( + 0,20 ), anak yang diadopsi korelasi dengan orang tua angkatnya ( + 0,10 - + 0,20 ).
b. Pengaruh faktor lingkungan [5]
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Oleh karena itu ada hubungan antara pemberian makanan bergizi dengan intelegensi seseorang. Pemberian makanan bergizi ini merupakan salah satu pengaruh lingkungan yang amat penting selain guru, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting, seperti pendidikan, latihan berbagai keterampilan, dan lain-lain (khususnya pada masa-masa peka).
c. Stabilitas intelegensi dan IQ [6]
Intelegensi bukanlah IQ. Intelegensi merupakan suatu konsep umum tentang kemampuan individu, sedang IQ hanyalah hasil dari suatu tes intelegensi itu (yang notabene hanya mengukur sebagai kelompok dari intelegensi). Stabilitas inyelegensi tergantung perkembangan organik otak.
d. Pengaruh faktor kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya.
e. Pengaruh faktor pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi.
f. Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar.
g. Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah.
Semua faktor tersebut di atas bersangkutan satu sama lain. Untuk menentukan intelegensi atau tidaknya seorang anak, kita tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut, karena intelegensi adalah faktor total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan intelegensi seseorang.
D.        Intelegensi dan IQ [7]
IQ adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan IQ (Intelegence Quotient) hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.[8] Atau dengan kata lain, IQ menunjukkan ukuran atau taraf  kemampuan intelegensi/kecerdasan seseorang yang ditentukan berdasarkan hasil test intelegensi. Sehingga istilah intelegensi tidak dapat disamakan artinya dengan IQ.[9]
Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age atau MA) dengan umur kronolog (Chronological Age atau CA), skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar penghitungan IQ.
MA
IQ = x 100
CA
Namun kemudian timbul permasalahan karena MA akan mengalami stograsi dan penurunan pada waktu itu, tetapi CA terus bertambah. Masalah ini kemudian diatasi dengan membandingkan skor seseorang dengan skor orang lain dalam kelompok umur yang sama. Cara ini disebut “perhitungan IQ berdasarkan norma dalam kelompok (Within Group Normal) dan hasilnya adalah IQ penyimpangan atau deviation IQ.
E.        Intelegensi  dalam Pendidikan Islam
Dalam sebuah istilah dalam islam muncul kata “NUUR-ALLAH ini berlapis-lapis sebagaimana yang difirmankan Allah: “NUURUN ’ala NUURIN”. ( QS.24 : 35 ). Allah mengumpamakan Nur itu bagai “lampu-dalam semprong”.  NUUR yang berlapis-lapis ini memancar kerena semprong kaca yang terlihat bercahaya padahal yang bercahaya itu adalah api yang marak dalam semprong-kaca. Cahaya NUUR Allah ini meliputi seluruh alam sehingga menjadi sebab adanya alam. yang berisi kecerdasan, akal-pertama kata Al-Farabi, yang Aristoteles mengenalnya dengan sebutan Actus-Purus/The First-intelect, yang dalam istilah lain disebut : “Intelegensi-Universal”:
         Rasullullah bersabda:
         “Awal pertama diciptakan Allah adalah “aqal” ( intelegensi) lalu Allah berfirman:”Menghadaplah kepada-Ku!” maka akal itupun menghadap. Allah berfirman lagi: “Putarlah badanmu!”, maka akal itupun berputar, lalu Allah berfirman: “Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, tidak  ada Aku jadikan makhluk yang lebih mulia dari padamu. Dengan engkau Ku-ambil pertanggungjawaban, dengan engkau pula Ku-berikan ia (kemampuan berpikir ), dengan engkau Ku-berikan pahala, dengan engkau ku-jatuhkan hukuman”[10]
Dalam Al Qur’an surat as-Sajdah ayat 9, bahwa manusia terlahir dengan dibekali kecerdasan.
ثُمَّسَوَّاهُوَنَفَخَفِيهِ مِنرُّوحِهِوَجَعَلَلَكُمُالسَّمْعَوَالْأَبْصَارَوَالْأَفْئِدَةَقَلِيلًامَّا تَشْكُرُونَ



Artinya : “Kemudian Dia memberinya bentuk (dengan perbandingan ukuran yang baik) dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.”(QS. As-Sajdah (32) : 9)[11]
Dalam pendidikan islam dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu :
  1. kecerdasan intelektual.            2          kecerdasan emosional
  2. kecerdasan spiritual.                3.         Kecerdasan Qalbiyah.
1. Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan pengambangan tingkat kemampuan dan kecerdasan otak, logika atau IQ. Ramayulis dalam bukunya menyatakan, kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang menuntut pemberdayaan otak, hati, jasmani, dan pengaktifan manusia untuk berinteraksi secara fungsional dengan yang lain.[12] Berdasarkan hadis ini, dapat disimpulkan bahwa intelektualitas manusia dapat diklasifikasikan dalam tiga golongan, seperti tanah subur, tanah gersang atau tanah tandus.
Rasulullah SAW menunjukkan secara jelas tentang perbedaan antar manusia dalam tingkat kecerdasan atau intelektualitas dalam hadisnya :
نَحْنُ مَعَا شِرَ اْلأَمْبِيَاءِ أَمَرْ نَا أَنْ نُنَزَّلَ النَّاسَ مَنَا زِلَهُمْ, وَنُكَلِّمُهُمْ عَلَى قَدْ رِعُقُوْ لِهِمْ
“Kami para Nabi diperintahkan untuk mengunjungi rumah orang dan mengajari mereka sesuai dengan kemampuan akalnya.”[13]
Kecerdasan intelektual pada diri manusia sangat erat kaitannya dengan proses berfikir atau kecerdasan fikiran yang disebut dengan aspek kognitif. Dalam aspek ini manusia dipaksa untuk dapat mempertimbangkan sesuatu, memecahkan atau memutuskan sesuatu masalah dengan menggunakan fikiran yang logis (logika). Secara umum kecerdasan intelektual dapat digolongkan sebagai berikut :
 Tingkat Inteltual, Super normal,  Normal dan sedikit dibawah  normal
  •  Sub Normal Normal atau subnormal, IQ 90 – 110
  • Berdorline, IQ 70 – 90
  • Debil, IQ 50 – 70
  • Insibil, IQ 25 – 50
  • Idiot, IQ 20 – 25”
  • Genius, IQ diatas 140
  • Gifted, IQ 130 – 140
Superior, IQ 110 – 130






Menurut pengantar pendidikan anak luar biasa yang disusun oleh Sam Isbani, mengatakan bahwa tingkat intelegensi peserta didik dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
berkelainan sosial
  1. anak nakal/ delinquen
  2. anak yang menyendiri, menjauhkan diri dari masyarakat
berkelainan jasmani
  1. anak timpang
  2. anak berkelainan penglihatan
  3. anak berkelainan pendengaran
  4. anak berkelainan bicara
  5. anak kerdil
berkelainan mental
  1. tingkat kecerdasan rendah
  2. tingkat kecerdasan tinggi.[14]
2. Kecerdasan Emosional
Menurut Daniel Gomelen, kecerdasan Emosional adalah kemampuan untuk memotovasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, menjaga akan beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdo’a.[15]
Secara umum kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual saling berkaitan satu sama lain. Jika kecerdasan intelektual yang dihasilkan otak kiri digunakan untuk berfikir atau memecahkan suatu masalah, maka kecerdasan emosional yang dihasilkan oleh otak kanan digunakan untuk memberikan motivasi, mendorong kemauan dan mengendalikan dorongan hati. Sehingga dengan adanya kecerdasan dalam diri peserta didik, peserta didik akan mampu memotivasi dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu hal yang bersifat positif, bahkan diharapakan dengan adanya kecerdasan ini seorang peserta didik mampu untuk menghilangkan rasa malas yang timbul pada dirinya.         
            Ari Ginanjar mengemukakan aspek-aspek yang berhubungan dengan kecerdasan emosional, sebagai berikut :
  1. Konsistensi (istiqamah)
  2. Kerendahan hati (tawadhu’)
  3. Berusaha dan berserah diri (tawakkal)
  4. Ketulusan (ikhlas), totalitas (kaffah)
  5. Keseimbangan (tawazun)
  6. Integritas dan penyempurnaan (ihsan)
Didalam islam hal tersebut disebut dengan akhlaq al karimah.[16] Akhlaq Al Karimah ini mampu mengendalikan seseorang dari keinginan-keinginan, yang bersifat negatif, dan sebaliknya mengarahkan seseorang untuk melakukan hal-hal yang posistif.
            Solovery menerangkan tentang ciri-ciri kecerdasan emosional sebagai berikut :
  1. respon yang cepat namun ceroboh
  2. mendahulukan perasaan daripada fikiran
  3. realitas simbolik yang seperti anak-anak
  4. masa lampau diposisikan sebagai masa sekarang
  5. realitas yang ditentukan oleh keadaan. [17]
Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional yang bekerja secara acak tanpa pemikiran yang logis. Apabila tidak didampingi oleh pemikiran yang bersifat logis (Kecerdasan Intelektual) dikhawatirkan malah akan mendorong peserta didik untuk melakukan hal-hal yang negatif atau melakukan sesuatu yang monoton (tidak berkembang).
            Jalaludin Rahmat, dalam bukunya yang berjudul Kecerdasan Emosional prespektif, mengemukakan bahwa untuk mendapatkan kecerdasan emosional yang tinggi harus melakukan hal-hal sebagai berikut :
  1. musyarathah, berjanji pada diri sendiri untuk membiasakan perbuatan baik dan membuang perbuatan buruk
  2. muraqobah, memonitor reaksi dan perilaku sehari-hari
  3. muhasabah, melakukan perhitungan baik dan buruk yang pernah dilakukan
  4. mu’atabah dan mu’aqabah, mengecam keburukan yang dikerjakan dan menghukum diri sendiri.[18]
3. Kecerdasan Spiritual
            Secara etimologi spritual berarti yang berkehidupan atau sifat hidup. Kecerdasan spiritula pada diri manusia berorientasi pada dua hal, yakni berorientasi kepada hal yang bersifat duniawi dan agama.
Ketika seseorang mengorirntasikan kecerdasan spiritual kedalam sesuatu yang bersifat duniawai, maka yang hadir dalam dirinya adalah bagaimana ia dapat memaknai hidup dan mengelola nilai-nilai kehidupan. Bukan untuk menentukan atau memilih keyakinan dan kepercayaan akan suatu agama.
Disisi keagamaan, Ari Ginanjar menyatakan bahwa inti dari kecerdasan spiritual adalah pemahaman tentang kehadiran manusia itu sendiri yang muaranya menjadi ma’rifat kepada Allah SWT. Ketika manusia mendapatkan ma’rifat tersebut, maka manusia secara langsung akan dapat mengenali dirinya sendiri sekaligus mengenal tuhannya. Dalam prespeksi islam hal ini merupakan tingkat kecerdasan yang paling tinggi.
            Kecerdasan spiritual memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
  1. Bersikap asertif, memiliki keyakinan yang tinggi dan pemahaman yang sempurna tentang ke-Esaan Tuhan, sehingga seorang tersebut tidak akan takut akan makhluk.
  2. Berusaha mengadakan inovasi, selalu berusaha mencari hal baru untuk kemajuan hidup dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sesuatu yang telah ada.
  3. Berfikit lateral, berfikir akan adanya sesuatu yang lebih tinggi dari semua keunggulan manusia. Hal ini ditandai dengan adanya perenungan dan pemikiran akan adanya sifat maha yang dimiliki oleh sang pencipta alam sehingga membuat manusia tersentuh perasaan dan mampu menanamkan sikap tunduk dan patuh yang mebuat hati bergetar ketika dapat merasakan sifat kemahaan tersebut.
Dalam islam kecerdasan spiritual dapat dikembangkan dengan peningkatan iman yang merupakan sumber ketenangan batin dan keseleamatan, serta melakukan ibadah yang dapat membersihkan jiwa seseorang.
4. Kecerdasan Qalbiyah
Secara etimologi qalbiah berasal dari kata qalbu yang berarti hati. Dalam pengertian istilah kecerdasan qalbiyah berarti kemampuan manusia untuk memahami kalbu dengan sempurna dan mengungkapkan isi hati dengan sempurna sehingga dapat menjalin hubungan moralitas yang sempurna antara manusia dan ubudiyah.
Kecerdasan kalbu pada diri manusia yang sempurna akan menghandirkan kecerdasan agama dalam dirinya. Kecerdasan agama adalah tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari kecerdasan qalbiyah. Ketika seseorang telah mencapai kecerdasan agama maka secara langsung seorang tersebut akan memiliki kecerdasan yang melampaui kecerdasan intelktula, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
            Ramayulis dalam bukunya menyatakah bahwa ciri utama kecerdasan qalbiyah adalah :
  1. respon yang intuitif ilabiab
  2. lebih mendahulukan nilai-nilai ketuhanan dari pada nilai-nilai kemanusiaan
  3. realitas subyektif diposiskan sama kuatnya posisinya, atau lebih tinggi dengan realitas obyektif
  4. didapat dengan pendekatan penerapan spiritual keagamaan dan pensucian diri.[19]
3. Pengukuran Intelegensi [20]
a) Tes Binet Simon b) Tes Stanford Binet c) Teori Faktor-faktor G dan S
d) Teori Multifaktor e) Kognisi; proses kognitif f) Tes Intelegensi Klasikal
4. Validitas dan Reliabilitas Tes Intelegensi : Test intelegensi kebanyakan menggunakan prestasi sekolah sebagai promotor atau kriteria utamanya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tes intelegensi memang mempunyai korelasi yang amat tinggi dengan prestasi sekolah. Jadi dalam hal ini tes tersebut valid.
Pertanyaan validitas, dan khususnya reliabilitas tes intelegensi menyangkut pada pengaruh budaya. Bila tes dapat dibuat sama sekali tidak dipengaruhi oleh budaya (Culture Fair atau Culture Free) maka tes tersebut dapat diharapkan reliabel (dapat dipakai di mana saja).
5.      Intelegensi dan Bakat : Kemampuan-kemampuan yang spesifik memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau keterampilan itu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut bakat atau aptitude.
Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut aptitude tes atau tes bakat.
6. Intelegensi dan Kreativitas
Kreativitas merupakan salah satu ciri dari prilaku yang intelegen, karena kretivitas yang merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif, meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan intelegensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan, tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
Di sini secara garis besar akan diketemukan berbagai konsepsi mengenai intelegensi itu, yang merupakan jawaban bagi pertanyaan “Apakah Intelegensi itu ?”
Konsepsi-konsepsi itu pada dasarnya digolongkan menjadi 5 kelompok yaitu :
1) Konsepsi-konsepsi yang bersifat spekulatif
2) Konsepsi-konsepsi yang bersifat pragmatis
3) Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisis faktor, yang kiranya dapat kita sebut konsepsi-konsepsi faktor.
4) Konsepsi-konsepsi yang bersifat operasional, dan.
5) Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisis fungsional, yang kiranya dapat kita sebut konsepsi-konsepsi fungsional.[21]
F.   Pengukuran Intelegensi Umum
1. Latar Belakang Tes Intelegensi
E. Seguin (1812 – 1880) disebut sebagai pionir dalam bidang tes intelegensi yang mengembangkan sebuah papan yang berbentuk sederhana untuk menegakkan diagnosis keterbelakangan mental. Kemudian usaha ini distandanisir oleh Henry H. Goddard (1906). E. Seguin digolongkan kepada salah seorang yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak terkebelakang dan disebut juga bapak dari tes performansi.
Joseph Jasnow (1863 - 1944) adalah merupakan salah satu dari beberapa orang yang pertama kali mengembangkan daftar norma-norma dalam pengukuran psikologis.
G.C. Ferrari (1896) mempublikasikan tes yang bisa dipakai untuk mendiagnosis keterbelakangan mental.
August Oehr mengadakan penelitian inhmetasi antara berbagai fungsi psikologis E. Kraepelin, seorang psikotes menyokong usaha ini, empat macam tes yang dikembangkan, di antaranya yaitu:
1) Koordinasi motorik. 2) Asosiasi kata-kata. 3) Fungsi persepsi. 4) Ingatan
Dan E. Kraepelin juga mengembangkan tes intelegensi yang berkaiatan dengan tes penataran aritmatik dan kalkulasi sederhana tahun 1895.
Di samping itu berkembang pula tes yang dipakai untuk kelompok (group). Hal ini diawali dengan tes verbal untuk seleksi tentara (wajib militer) yang disebut dengan Army Alpha. Untuk yang buta huruf atau tidak bisa berbicara bahasa Inggris dipergunakan Army Beta sekitar tahun 1917 – 1918, tes ini dipakai hampir dua juta orang.[22]
2. Jenis-jenis tes intelegensi
Berdasarkan penataannya ada beberapa jenis tes intelegensi, yaitu :
1) Tes Intelegensi individual, beberapa di antaranya:
a. Stanford – Binet Intelegence Scale. b. Wechster – Bellevue Intelegence Scale (WBIS)
c. Wechster – Intelegence Scale For Children (WISC). d. Wechster – Ault Intelegence Scale (WAIS). e. Wechster Preschool and Prymary Scale of Intelegence (WPPSI)
2) Tes Intelegensi kelompok, beberapa di antaranya:
a. Pintner Cunningham Prymary Test. b. The California Test of Mental Makurity
c. The Henmon – Nelson Test Mental Ability. d. Otis – Lennon Mental Ability Test
e. Progassive Matrices.[23]
3) Tes Intellegensi dengan tindakan perbuatan
Untuk tujuan program layanan bimbingan di sekolah yang akan dibahas adalah tes intelegensi kelompok berupa:
a. The California Test of Mental Maturity (CTMM)
b. The Henmon – Nelson Test Mental Ability
c. Otis – Lennon Mental Ability Test, and
d. Progassive Matrices.[24]
G.        Intelegensi Jenis Lain
Dewasa ini kebanyakn orang masih memandang bakat sebagai warisan modal kecerdasan. Seorang rekan dari Selandia Baru berkata bahwa lembaga pendidikan kita tidak dapat “mengalahkan alam”, dengan kata lain, lembaga lain lembaga pendidikan itu tidak dapat mengangkat anak lebih tinggi daripada “anak-tangga bakat” yang paling atas. Kebanyakan ahli pendidikan memandang bakat sebagai kemampuan untuk menyerap pengetahuan yang disampaikan oleh sekolah.

KESIMPULAN
1. Intelegensi adalah faktor total, berbagai macam daya jiwa erat bersangkutan di dalamnya seperti ingatan, fantasi, perasaan, perhatian, minat dan sebagainya juga berpengaruh terhadapa intelegensi seseorang. Intelegensi adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru serta perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian.
2. Ciri-ciri intelegensi yaitu : merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional, tercermin dari tindakan yang terarah pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan pemecahan masalah yang tombul daripadanya.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi: pengaruh faktor bawaan, pengaruh faktor lingkungan, stabilitas intelegensi dan IQ, pengaruh faktor kematangan, pengaruh faktor pembentukan, minat dan pembawaan yang khas, kebebasan.
Daftar Pustaka
Djamarah, Syaiful Bahri dan Drs. Aswan Zain. 1995, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta.
Husen, Torsten. 1988, Masyarakat Belajar, Jakarta: Rajawali Pers.
Purwanto, M.Ngalim. 1990, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sabri, M. Alisuf. 1996, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Slameto, Drs. 1995, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sukardi, Dewa Ketut. 1988, Analisis Tes Psikologi, Jakarta: Rineka Cipta.
Suryabrata, Sumadi. 1984, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

                      



[1] Suryabrata, Sumadi. 1984, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.136

[2] [2] Drs. Irwanto dkk, Psikologi Umum (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994) h. 166

[3] [3] Ibid.Psikologi Umum. h. 167

[4] Ibid.Psikologi Umum. h. 168
[5] Ibid.Psikologi Umum. h. 169
[6] Ibid. Psikologi Umum. h. 171

[7] Ibid. Psikologi Umum. h. 172
[8] Drs. H.M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996) h. 117

[9] Op. Cit. PsikologiUmum. h. 172

[10] Ihya-ulumu’ddin, Iman Ghazali, terjemahan Maisir Thaib dan A. Taher Hamidy, h.253)

[11] Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang : CV. Toha Putra, t.t), h. 661
[12] Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Kalam Mulia. Jakarta. 2006.h 97.

[13] Dr. Moh. Utsman Najah, Psikologi dalam Perspektif hadis (Al Hadis Wa Ulum an-Nafs), (Jakarta: Pustaka al-Hujna Baru, 2004), h. 274.
[14] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Cetakan ke II, PT Rineka Cipta,     Jakarta, 2006, Hal 40

[15] Daniel Golmen, Kecerdasan Emosional Edisi Terjemahan Cetakan Ke 9  Gramediya, Jakarta, 1999, Hal. 45

[16] Ari Ginanjar Agustian, Emotional Spiritual Quotient : Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Arga, Jakarta, 2001, Hal. 199

[17] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2006, Hal. 103
[18] Ibid Hal. 105
[19] Ibid. Hal. 110
[20] Ibid. Psikologi Umum. h. 174
[21] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) h. 128

[22] Drs. Dewa Ketut Sukardi, Analisis Tes Psikologi. (Jakarta: Rineka Cipta) h. 14 - 15

[23] .Ibid.121
[24] Ibid. Analisis Tes Psikologi. h. 21 - 22

Template by:

Free Blog Templates