Kamis, 31 Januari 2013

Exsisitensi makna Santri Pesantren di balik label Sebutan Santri


SANTRI DAN PESANTREN
Pesantren dan tujuan pendidikan
Sampai hari ini Kalangan pesantren tentu merasa bersyukur, bahkan berhak untuk bangga, karena meningkatnya perhatian masyarakat luas pada dunia pendidikan dan lembaga pesantren. Dari sebuah lembaga Pesantren, yang sudah bertahun-tahun percaya dan memilih untuk konsisten terhadap keyakinan dalam berpandangan mengenai pendidikan, di tengah  modernitas pendidikan hari ini, meskipun klaim ortodok sering kali mampir dan menuding bahwa pendidikan yang di terapkan di sana ketinggalan jaman, belum lagi persoalan  akan kalaim  eklusifitas pesantren menjadi rubric pembicaraan atas terbelenggunya kaum perempuan yang ruangnya terbatasi opleh metode pendidikan di dalamya, bila di kaitkan dengan persoalan gender, lebih parahnya lagi dalam beberapa tahun terakhir ini berita dan opini terorisme, baik di media cetak maupun media elektronik, pondok pesantren di klaim sebagai sarang teroris, tempat dimana para teroris digembleng dan dididik.dan masih banyak lagi tudingan-tudingan lainyayang hampir-hampir tidak diakui eksistensi dan peran positifnya,.namun hal itu tidak menyurutkan pandangan masyarakat kita untuk tidak percaya kepada pesantren,malah orang pun mulai membicarakan kemungkinan pesantren menjadi pola pendidikan nasional Ketika sampai detik ini pesantren masih tetap di percaya di percaya seksistensinya dalam penanganan anak didiknya yang berlabel Santri di negeri ini, hal ini di kuatkan oleh pendapat bahwa Basis kekuatan eksistensial pesantren, menurut Azyumardi Azra, pada satu pihak terletak pada corak dan pada paham keislaman masyarakat Jawa itu sendiri, pada pihak lain, basis eksistensial peasantren terletak pula pada integrasi lembaga ini ke dalam struktur-struktur sosial yang ada.[1]
Pesantren merupakan lembaga keagamaan yang identik dengan  pendalaman agama yang kurikulumnya berkisar pada penguasaan tiga ilmu dasar : tauhid,{teologi}, fiqh {epistimologi-aksiologi},dan tasawuf {intuisi-spiritual} Pondok atau Pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik (santri) untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin)[2].
Sedangkan Kata “Pesantren” berasal dari kata “santri” dengan awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Atau pengertian lain mengatakan bahwa pesantren adalah sekolah berasrama untuk mempelajari agama Islam.[3] Sumber lain menjelaskan pula bahwa pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik.[4] Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren bisa disebut dengan pondok saja atau kedua kata ini digabung menjadi pondok pesantren. Secara esensial, semua istilah ini mengandung makna yang sama, kecuali sedikit perbedaan. Asrama yang menjadi penginapan santri sehari-hari dapat dipandang sebagai pembeda antara pondok dan pesantren. Kata “Pondok” berasal dari bahasa Arab yang berarti funduqartinya tempat menginap (asrama). Dinamakan demikian karena pondok merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya[5]
M. Arifin menyatakan bahwa, penggunaan gabungan kedua istilah secara integral yakni pondok danpesantren menjadi pondok pesantren lebih mengakomodasi karakter keduanya. Pondok pesantren menurut M. Arifin :
Suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal.[6]
Kuntowijoyo menanggapi penamaan pondok pesantren ini dalam komentarnya bahwa, sebenarnya penggunaan gabungan kedua istilah secara integral, yakni pondok dan pesantren menjadi pondok pesantren dianggap kurang jami’māni (singkat-padat). Selagi pengertiannya dapat diwakili istilah yang lebih singkat, maka istilah pesantren lebih tepat digunakan untuk menggantikan pondok dan pondok pesantren. Lembaga Research Islam (Pesantren luhur) mendefinisikan pesantren adalah suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya.[7]
Sementara A. Rasydianah mendefinisikan bahwa, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh masyarakat dibawah pimpinan seorang kiai melalui jalur pendidikan non formal berupa pembelajaran kitab kuning. Selain itu, banyak juga yang menyelenggarakan pendidikan keterampilan serta pendidikan formal, baik madrasah maupun sekolah umum.
Sementara menurut Zamakhsyari, bahwa sekurang-kurangnya harus ada lima elemen untuk dapat disebut pesantren, yaitu ada pondok, mesjid, kiai, santri, dan pengajian kitab Islam klasik yang sering disebut kitab kuning. Zamakhsyari juga mencoba mengklasifikasi pesantren dilihat dari jumlah santrinya. Menurutnya, pesantren yang santrinya kurang dari 1000 dan pengaruhnya hanya pada tingkat kabupaten, disebut sebagai pesantren kecil; santri antara 1000-2000 dan pengaruhnya pada beberapa kabupaten disebut sebagai pesantren menengah; bila santrinya lebih dari 2000 dan pengaruhnya tersebar pada tingkat beberapa kabupaten dan propinsi dapat digolongkan sebagai pesantren besar. [8]
Dari uraian di atas cukup jelas bahwa pesantren sebagai basisi keilmuan dan pendidikan  di rasa cukup jelas dan gamblang dari segi makna,tujuan dan eksisitensinya sebagai lembaga pendidikan yang berpotensi cukup luas di masa dating dalam menentukan sebuah ide dan gagasan dalam pendidikan baik di level regional,nasional ataupun internasional. Hal ini dapat di buktikan dari system dan tujuan pendidikan  yang berlaku di pesantren, adanya kurikulum dalam mendidik, sehingga pemahaman tentang tujuan pendidikan pesantren merupakan pemahaman yang bersifat analitis. Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan penjelasan –penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai sepiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikapdan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dan bersih hati.
Setiap santri diajar agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian (`ibadah) kepada Tuhan. [9]
Pesantren sendiri mempunyai berbagai macam khas di dalamnya, secara husus setiap satu dengan yang lain mempunya has sendiri-sendiri, selain posisinya pesantren sebagai lembaga pendidikan agama islam tradisional, tetapi juga mencakup pengertian sebuah komunitas orang muslim atau kaum muslimin yang memiliki identitas ,symbol dan tradisi budaya sebagai subkultur islam di jawa,[10] sepert pesantren yang tetap memegang adat istiadatnya , di beberapa pesantren salaf di jawa, di pesantren tersebut nuansa adat jawa cukup kental  di  tradisikan di dalamnya yang secar umum kita menyebutnya pesantren tradisional ataupun salaf..
Kehususan lain juga tidak kalah uniknya , bila Dapat di katakan bahwa pesantren tidak mengalami ketertinggalan dalam kemajuan  pendidikan, pesantren tetap bergerak maju dan selelu mengam,bil inisiatif dalam pengembangan keilmuan, sehingga pesantren mengikuti perkembangan zaman dari pemikiran ataupun keilmuan yang terus bergesekan dengan zaman modern, dari ssana pesantren mengalami modernisasi dari segi metodik pendidikanya.
Seperti byang di ungkapkan Nurchalish Majid “bagi Pesantren yang memiliki kepentingan mendasar untuk menanamkan tradisi keilmuan Islam terhadap santri, perlu untuk dirumuskan ulang tujuan pendidikan dan pengajarannya. Jika tidak demikian, maka akan terjadi kesenjangan. Hal ini terjadi, menurutnya  dikarenakan belum adanya kesiapan bagi pesantren untuk memahami pola-pola budaya Barat, apalagi mengimbangi, merespon saja terkadang mengalami kesulitan. Kepentingan tersebut adalah dalam rangka merealisasikan dua visi utamanya yaitu ;
Pertama, untuk menyebarluaskan ajaran tentang universalitas Islam ke seluruh pelosok Nusantara yang sangat pluralis. Hal ini oleh para Wali telah membuktikan dan berhasil menginternalisasikan nilai-nilai Islam dalam lingkungan masyarakat, tanpa meninggalkan jati diri pesantren.
Kedua, untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral dengan “Amar ma’ruf nahi munkar”.  Ini berarti pesantren menjadi agen perubahan dan selalu melakukan pembebasan masyarakat dari segala keburukan moral, penindasan politik, kemiskinan ilmu pengetahuan dan bahkan kemiskinan ekonomi.[11]
Exsisitensi  makna Santri Pesantren di balik label
Sebutan Santri
Istilah santri sebagai label bagi anak didik di pesantren tidak hanya sekedar sebutan ataupun label saja, namun Dalam praktik bahasa sehari-hari, istilah ‘santri’ pun memiliki devariasi yang banyak. Artinya, pengertian atau penyebutan kata santri masih suka-suka alias menyisakan pertanyaan yang lebih jauh. Santri apa, yang mana dan bagaimana? Namun secara umum ada dua sebutan dalam pesantren, yaitu santri sebagai sebutan bagi laki-laki, dan santri wati untuk sebutan bagi perempuan. Santri / satri wati berarti orang yang mendalami agama islam, atau orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh, atau bisa juga dengan orang yang shaleh [12]. Dalam penelitian Clifford Geertz berpendapat, kata santri mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti sempit santri adalah seorang murid satu sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren. Oleh sebab itu, perkataan pesantren diambil dari perkataan santri yang berarti tempat untuk santri. Dalam arti luas dan umum santri adalah bagian penduduk Jawa yang memeluk Islam secara benar-benar, bersembahyang, pergi ke mesjid dan berbagai aktifitas lainnya.[13]
Label sntri bukan sekedar label ataupun pangkat yang menempel pada sebutan seseorang saja, namun label tersebut harus memenuhi syarat akan pantasnya seseorang mendapatkan sandangan sebagai santri, karena dari sisi perilaku, santri haruslah mempunyai etika dan cara pandang berbeda dalam melihat berbagai persoalan,, mempunyai keilmuan dan wawasan keagamaan yang kokoh dan kuat dalam menciptakan keteladanan ataupun Mauidzah yang berarti nasehat[14] dalam masyarakat, Rasyid Ridla mengartikan mauidzah sebagai berikut.
”Mauidzah adalah nasehat peringatan atas kebaikan dan kebenaran dengan jalan apa yang dapat menyentuh hanti dan membangkitkannya untuk mengamalkan”[15]
Metode mauidzah, harus mengandung tiga unsur, yakni : a). Uraian tentang kebaikan dan kebenaran yang harus dilakukan oleh seseorang, dalam hal ini santi, misalnya tentang sopan santun, harus berjamaah maupun kerajinan dalam beramal; b). Motivasi dalam melakukan kebaikan; c). Peringatan tentang dosa atau bahaya yang bakal muncul dari adanya larangan bagi dirinya sendiri maupun orang lain[16] ,.
Begitu juga dalam pandangan keilmuan seorang santri  mampu mengkaji alqur’an dan hadist dan memahaminya secara maksimal, kaitnya juga makna santri itu sendiri sebagai seorang ilmuan agama yang melek ataupun mampu melihat realitas dengan kaca mata keilmuanya yang berarti juga kata “santri”, menjadi sebuah makna tersendiri selain sebagai label, dalam pandangan Nurcholish Madjid dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa Sanskerta yang artinya melek huruf[17], artinya mampu membaca keilmuan yang di ajarkan dalam alqur’an dan hadist yang tidak lepas dari firman alloh dalam surat al alaq “ bacalah! Artinya:
1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.3. Bacalah, dan Tuhanmu-lah yang Maha Mulia.4. Yang mengajar (manusia) pena.5. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.(qs.Al-Alaq)
Di sisi lain, Zamkhsyari Dhofier berpendapat bahwa, kata “santri” dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Atau secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[18] Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, yaitu dari kata “cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap[19]
Dari pengertian yang terjelaskan tersebut bahwa santri mempunyai filosofis makna yang begitu luas dan dalam dari pengertianya saja, belum kepada arti luasnya yang patutlah sebenarnya label santri merupakan sebuah label pangkat yang mulya yang erat kaitanya dengan  kyai sebagai pengasunya.
Santri yang berati juga seorang muslim dan muslimin yaitu golongan orang islam yang yang menjalankan ibadah keagamanya secara kaffah sesuai dengan ajaran syari’at islam yang sesungguhnya,[20] tidak berbeda juga dengan pangkat kyai atau ulama yang sama-sama menjadi hamba alloh.
           

Kenapa pesantren samapu hari ini eksis? Sebuah pertanyaan yang sebenarnya cukup menggugat selain pertanyaan “apa yang menarik dari pesantren” bila di lihat dari kontek pendidikanya yang bertahan dengan eksisitensi kelulusanya yang secara frontal belum terfasilitasi akademik keilmuanya  ketika outputnya masih sulit bersentuhan dengan dunia kerja?

Dalam karya sederhana ini penulis akan lebih menyempurnakan dalam  kaitanya pembahasan santri dan pesantren dalam konsep pendidikan  Semoga penulisan ini rampung dan di ridhoi Alloh swt..……. To be continued, di pembahasan kami selanjutnya,,,,amin, fathuroby akhifiellah.


[1] Islamil SM dkk (Ed.), Dinamika Pesantren Dan Madrasah, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2002, hlm. 171


[2] Ahmad Ali Riyadi, Dekonstruksi Tradisi Kaum Muda NU Merobek Tradisi, (Jogjakarta; Ar-Ruzz Media, 2007), 56-57.
[3] Abu Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sul-Sel”, dalam Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 1983), h, 329

[4] Ibid., h. 328

[5] Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Cet. II; Jakarta Mizan), h.44
[6] M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 240
[7] Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), h. 247
[8] Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Cet. II; Jakarta Mizan), h.44
[9] Nur Cholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Paramadina, Jakarta, 1997,  hlm. 3
[10] Islam jawa,h.65
[11] Nur Cholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Paramadina, Jakarta, 1997,  hlm. 3-5

[12] kamus besar bahasa Indonesia 2007 : 803).
[13] Lihat Clifford Geertz, “Abangan Santri; Priyayi dalam Masyarakat Jawa”, diterjemahkan oleh Aswab Mahasun (Cet. II; Jakarta: Dunia Pusataka Jaya, 1983), h. 268, dikutip oleh Yasmadi, Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholish Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), h. 61
[14]  Warson, Kamus Al-Munawwir, h. 1568
[15] Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid II, (Mesir; Maktabah al-Qahirah, tt), h. 404
[16] Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren : solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta; ITTIQA PRESS : 2001), h. 57-58

[17] Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Cet. II; Jakarta Mizan), h. 18
[18] M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 240
[19] Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), h. 247
[20] Islam jawa h.65

Rabu, 30 Januari 2013

MENGGALI KEMBALI AKAR FALSAFAH PENDIDIKAN DI TENGAH ARUS GLOBALISASI DAN PROBLEM PENDIDIKAN

MENGGALI KEMBALI AKAR FALSAFAH PENDIDIKAN
DI TENGAH ARUS GLOBALISASI DAN PROBLEM PENDIDIKAN DALAM MENGARAHKAN
TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL.
(Oleh ; Fathur roby Akhifiellah.mahasiswa semester 3 pasca sarjana
STAIN Tulungagung)

         Berbicara  pendidikan  tak ubahnya seperti membicarakan sebuah
persoalan yang tiada pangkalnya,begitu juga problem pendidikan yang
tak ubahnya nseperti  pepatah perjuangan  yang sering kita dengar “
mati satu tumbuh seribu” persoalan pendidikan yang selalu muncul  dan
hadir silih berganti mewarnai dan menjadi  dinammika problem
pendidikan nasional kita, misalnya problem kurikulum pendidikan yang
berahir pada evaluai ahir pendidikan yang di sebut UAN, yang  sudah
sudah di di tetapkan dan berjalanpun  tetap belum menemukan
kesepakatan dan  evaluasi yang sempurna sehingga benar-benar menjadi
sebuah  pilihan dari sebuah visi dan misi pendidikan nasional kita.
Dalam tulisan sederhana ini penulis tidak akan membahas dan membongkar
secara detail mengenai pendidikan secara disiplin menurut keilmuan
filsafat, akan tetapi hanya menampilkan secara umum saja, yang terkait
dengan falsafah pendidikan kita dalam konteks era globalisasi yang
sedang berjalan ini, Memang tidak mudah  merumuskan  sebuah metode,dan
 kesepakan dalam merumuskan sebuah tujuan,dan landasn pendidikan
secara filosofis,dan membongkarnya dengan metode filsafat, akan
membutuhkan belasan atau ribuan lembaran untuk menulisnya, yang
kemudiandapat di jadikan  visi dan misi pendidikan yang efektif dan
sesuai dengan kultur kebudayaan sebuah negara.  Langsung saja Kita
tengok berawal dari  persoalan yang sering muncul di wajah muram
pendidikan nasionaal kita yang melahirkan anak didik yang semakin jauh
dari nilai-nilai dan norma kebudayaan kita, tawuran pelajar yang dulu
hanya berada di tingkat pelajar sekarangpunn sudah  terbawa  dan
secara kontinuitas tumbuh di perguruan tinggi, tak ubahnya sebuah
virus menular yang menjangkiti  pada tubuh anak didik yang tak usang
sembuh hingga terbawa di kampus dan menjadi budaya negative yang
semakin   berkembang dan sulit di sembuhkan,di tambah lagi pergaulan
bebas,dan sex bebas di antara pelajar,yang memicu persoalan di
tingkatan internal sekolahan hingga menjadi problem social yang
meresahkan, dan yang sangat meggoncangkan lagi beberapa waktu yang
lalu terjadi pembunuhan oleh pelajar hingga kemudian sampai pada ranah
hokum dan ham dan menjadi persoalan pelik yang berbuntut panjang yang
menghadirkan,memunculkan berbagai tanda Tanya besar terhadap kualitas
dan tanggung jawab lembaga pendidikan yang selama ini sangat di
percaya dan di harapkan mampu memberikan pendidikan yang berkualitas
secara rohani dan jasmani terhadap generasi bangsa ini
        Bila kita bertanya kenapa pendidikan kita seperti itu? Apa yang
membuat anak didik bermental kurang baik? Apakah yang salah dari visi
dan misi pendidikan kita? Kenapa muncul budaya anak didik yang semakin
jauh dari akar kultur kita?dan kemana pendidikan kita akan di bawa?
Dan masih banyak pertanyaan yang  mungkin lebih kritis dari pada itu,
maka sungguh berat menjawab dan menjadi bebban yang berat bila mana
semua itu tidak di landasi oleh kesadaran akan tanggung jawab bersama
dari seluruh lapisan baik lembaga pemerintahan dan masyarakat dan
rakyat Indonesia sebagia orang tua didik.
                Di sadari atau tidak hal itu  akan trus berkembang dan me njadi
persoalan yang  tentunya harus di carikan solusinya yang kemudian
mampu di terapkan, namun akar persoalan semua  itu  tidak lain akibat
menurunya ataupun bergesernya  pandangan atau falsafah pendidikan kita
yang semakin jauh dari falsafah pendidikan kebangsaan kita. Hal itu
terjadi oleh sebuah pergesekan halus  dari masuknya falsafah
kebudayaan pendidikan barat yang semakin  menyusup ke ranah falsafah
pendidikan kta, melalui arus besar yang kita sebut sebagai arus
globalisasi, dan masuk ke seluruh sector kehidupan bangsa kita
melaluli jalur Globalisasi Bidang .    Globalisasi Bidang Sosial
Budaya,Hukum, Pertahanan, dan Keamanan,Globalisasi Bidang Ekonomi
Sektor Perdagangan,Globalisasi Bidang Ekonomi Sektor Produksi,dan lain
sebagainya.

MEMFILTER DAN BERKACA UNTUK KESELAMATAN PENDIDIKAN KITA DI TENGAH ARUS
GLOBALISASI

Globalisasi adalah sebuah sistem mendunia,meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia yang meliputi ,ekonomi,politik,sosial,budaya,dan
tentu di dalamnya termasuk pendidikan. Arus globalisasi di picu oleh
Faktor-faktor pendorong globalisasi antara lain:  Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi Diterapkannya perdagangan bebas.Liberalisasi
keuangan internasional, dan Meningkatnya hubungan antar negara.
Sedangkan Tujuan globalisasi ada tiga macam, yaitu  Mempercepat
penyebaran informasi dan Mempermudah setiap orang memenuhi kebutuhan
hidup, Memberi kenyamanan dalam beraktifitas.dari situ persoalan
kebangsaan ini muncul, di mana akibat filterisasi dari arus
globalisasi yang kurang maksimal dan kurang kuat, dan masyarakat kita
cenderung menerimanya mentah-mentah tanpa adanya filterisasi yang kuat
.arus globalaisasi tersebut ahirnya mampu menyusup dam menjalar di
seluruh aspek yang apabila tidak mampu memfiltyernya maka akan
menimbulkan beberapa kenegatifan seperti halnya Dampan negatif
globalisasi di bidang sosial budaya :Semakin mudahnya nilai-nilai
negatif budaya barat masuk ke Indonesia baik melalui internet, media
televisi, maupun media cetak yang banyak ditiru oleh
masyarakat.Semaikin memudarnya apresiasi terhadap nilai-nilai budaya
lokal yang melahirkan gaya hidup Individualisme : mengutamakan
kepentingan diri sendiri, Pragmatisme : melakukan suatu kegiatan yang
menguntungkan saja, Hedonisme : Paham yang mengutamakan kepentingan
keduniawian semata, Primitif : sesuatu yang sebelumnya dianggap tabu,
kemudian dianggap sebagai sesuatu yang biasa/ wajar, Konsumerisme :
pola konsumsi yang sudah melebihi batas, Semakin lunturnya semangat
gotong-royong, solidaritas, kepedulian, dan kesetiakawanan sosial
sehingga dalam keadaan tertentu/ darurat, misalnya sakit, kecelakaan,
atau musibah hanya ditangani oleh segelintir orang.
Namun Globalisasi memiliki arti penting bagi bangsa Indonesia, yaitu
kita dapat mengambil manfaat dari globalisasi dan menerapkannya di
Indonesia. Manfaat globalisasi antara lain kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, mempermudah arus modal dari negara lain, dan
meningkatkan perdagangan internasional.
Globalisasi memiliki nilai-nilai positif namun juga memiliki
nilai-nilai negatif. Untuk menyaring nilai-nilai negatif maka kita
harus berpedoman pada nilai-nilai Pancasila, karena nilai-nilai
Pancasila sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Jika
kita mengambil nilai-nilai negatif globalisasi, maka yang akan terjadi
adalah kaburnya jati diri bangsa Indonesia dan masuknya
kebiasaan-kebiasaan yang buruk.
Berbicara filterisasi terhadap arus globalisasi tentu saja membutuhkan
banyak tenaga dan fikiran, namun secara sederhana dapat saya bahasakan
dalam tulisan ini secara singkat, filterisasi arus globalisasi atau
penyaring arus globalisasi yang begitu kencang ini agar tidak semua
budaya barat masuk ke indonesisa, agar yang baik dapat diterima dan
yang buruk tidak diterima dan lebih baik di buang saja.
Alat filter itu kita sebut Pancasila. Sejak dahulu pancasila menjadi
pedoman dan cara hidup rakyat Indonesia, begitu kuatnya pancasila
mempersatukan bangsa Indonesia. Pancasila merupakan salah filter yang
tepat untuk menyaring globalisasi sehingga tidak semua budaya
luardapat masuk begitu saja. Tetapi sekarang ini pengertian rakyat
mengenai pancasila sudah luntur. Karena tidak adanya pendidikan
pancasila lagi di sekolah di negeri ini.Derasnya arus globalisasi
tiadak hanya terjadi dalam perekonomian saja akan tetapi juga merambah
dunia pendidikan dengan mengadopsi pendidikan dari luar negeri seperti
adanya program pemerintah untuk membentuk sekolah berstandar
internasional yang hanya bertujuan agar peserta didik tidak latah
ketika menuntut ilmu di luar negeri bahkan standar yang digunakan juga
masing belum jelas.
Belajar memfilter dan mengambil pelajaran dari budaya luar dalam
Pendidikan yang nantinya mampu di jadikan sebagai parameter kemajuan
suatu bangsa dan sudah semestinya menjadi sasaran utama dalam
diskursus pembangunan nasional. Telah tercatat dalam Sejarah yang
menuliskan bahwa pendidikan sangat berpengaruh terhadap watak suatu
bangsa. Tengoklah 2 raksasa Asia dalam kemajuan teknologi, jepang dan
dwi Korea (korea utara dan korea selatan).
Munculnya dua Negara tersebut dalam kancah internasional sangat erat
hubungannya dengan reformasi pendidikan yang dilakukan pemerintah
mereka. Jepang awalnya hanyalah negara kecil yang sangat getol
mempertahankan tradisi nenek moyang yang jauh dari kesan modern.
Sejarah klasik bangsa jepang sama dengan bangsa china yang penuh
dengan pertarungan memperebutkan wilayah jajahan dengan pedang dan
kekuasaan. Perubahan ektrem Jepang dimulai ketika mereka merombak
pendidikan menjadi motor pergerakan dengan merubah tujuan dan system
pendidikan. Pendidikan menjadi semacm alat untuk menciptakan manusia
yang progresif menguasai IPTEK. Banyak siswa yang mengalami depresi
dan bahkan bunuh diri karena kalah dalam kompetisi di sekolah.
Humanisasi pendidikan hampir tidak ada, pembelajaran difokuskan pada
ketuntasan menguasai teknologi. Kebijakan pendidikan yang sedemikian
tentu memiliki sisi positif juga negative. Jepang menjadi negara yang
diperhitungkan dalam kancah global karena kemampuan menguasai
teknologi dunia. Hampir setiap detik ada inovasi baru dalam teknologi
modern di jepang. Namun disisi lain, banyak kritik terhadap pola
pendidikan semacam itu yang justru meniscayakan humanism dalam
pendidikan, walaupun dalam beberapa tahun terakhir pemerintah jepan
sudah mulai berbenah diri dengan kebijakan-kebijakan baru dalam
pendidikan.
Hal penting yang bisa diambil dari pengalaman jepang adalah pendidikan
yang progress dalam kemajuan teknologi cenderung mengurangi nilai
humanistic dalam pendidikan. Tidak salah memang jika jepang dan negara
maju lainnya yang cenderung menjadikan pendidikan sebagai alat
kemajuan bangsa, tetapi pendidikan adalah interaksi antara manusia
dengan sesamanya.
Dalam perspektif global, masalah pendidikan menjadi salah satu masalah
utama setiap bangsa. Penddikan juga menjadi semacam alat menguasai
bangsa lain. Jika diteliti dengan seksama, setiap bangsa meniliki
karakter yang berbeda dalam pendidikannya. Bangsa yang maju cenderung
mapan dalam system pendidikannya. Ada satu kecenderungan ddalam
interaksi global dimana negara maju memaksakan karakter pendidikannya
sebagai cara halus untuk menanamkan ideologinya. Negara denggan status
negara ketiga menjadi ssaran empuk proyek penjajahan modern ini.
Ditengah hiruk pikuk pergerakan bangsa, Indonesia berada pada posisi
transformasi menjadi negara maju dan modern. Hal penting yang perlu
mendapat sorotan, sekali lagi adalah dunia pendidikan. Jika ideology
bangsa ini kuat diinternalisasikan dalam pendidikan, maka ada semacam
buffer untuk membendung pengaruh ideology negara lain. Sekali lagi,
pendidikan bisa menjadi ajang pertarungan ideology antar negara maju
dan menjadi ladang perebutan ideology di negara kelas dua dan tiga.
Kekuatan ideology bangsa dalam pendidikan sekali lagi kita bisa
berkaca pada jepang. Kemajuan teknolgi di masyarakat tidak serta merta
meninggalkan ideolgi bangsa yang sejak dahulu menjadi karakter mereka.
Begitupun dengan negara maju lainnya, ada satu kecenderungan untuk
kuat mempertahankan ideology bangsanya dalam kancah pendidikannya.
Melihat fenomena soasial di negri ini, ada kekhawatiran terhadap
kemampuan bangsa Indonesia dalam mempertahankan ideologinya di
tegah-tengah komunitas negara maju dan modern. Mengapa kita tidak
mampu (mau) meniru jepang yang tetap eksis ditengah negara maju dengan
ideology ‘kolot” nya. Barangkali kita memiliki semacam rasa “malu”
untuk mempertahankan ideology masa lalu. Lihat saja dalam system
pendidikan nasional saat ini. Hampir pasti nilai pendidikan ke
indonesiaan tergusur oleh nila-nilai pendidikan asing, terutama barat.
Karena itu tidak salah jika persoalan social di negri ini hampir pasti
babak baru dari persoalan social negara-negara barat di masa lalu.Dan
untuk itu di perlukan rasionalisasi tentang pentingnya pemikiran
pendidikan yang alternatif untuk masa depan.
MENEMUKAN AKAR FALSAFAH PENDIDIKAN NASIONAL YANG DI UJUNG TANDUK
        Apakah benar kita telah semakin menjauh dari pondasi bangunan
kokohnya Negara dan bangsa kita? Apakah kita terlalu sibuk dalam
belajarguna mengejar harapan yang ternyata di dorog oleh egoisitas dan
kepentingan individual untuk mendapatkan sebuah klaim mkenjadi Negara
yang maju,modern sesuai ukuran dan porsi dunia internasional?
        Bila memang iya maka perlu jawaban yang konkrit ats semua itu, bila
kita sewbagai bangsa yang besar dan menghargai sejarah dan pahlawan
maka kita tentuynya tidak melupakan amanat para pendahulu kita yang
memperjuangkan bangsa ini, apa lagi kita meninggalkanya.Cerminan
kondisi mundurnya moralitas anak didik yang semakin parah ini di
tengarai berbagai macam persoalan yang pada intinya tersebut di atas
yang bersumber dari arus besar Globalisasi, coba saja kita melihat
realitas anak didik yang secara trend sudah mengkiblat pada kebudayaan
luar, mulai dari model bahasa,style dan etika tida lagi mencerminkan
kebudayaanya,apa lagi di Tanya siapa gambar pahlawan yang berada di
uang lembaran lima puluh ribuan rupiah  kita? Banyak di antara mereka
yang lupa atau mungkin tidak tahu, meskipun seringkali mereka
memegangnya, yang ada gambar-gambar itu hanya kan menjadi sibolisasi
saja yang kurang di perhatikan, malah sebaliknya, nalar materialistic
untuk berlomba mendapatkan lembaran itu di sadari oleh rel yang mampu
mengantarkan mendapatkanya yaitu kita sebut dengan Rel pendidikan yang
menjanjikan mempermudah mendapatkanya dengan gelar yang di sandangnya
dari jalur pendidikan yang tinggi.Benar adanya dan tidak salah, tanpa
pendidikan semua sulit di raih, akan tyetapi perlu di kritisi dan di
fikirkan ulang, bahwa tujuan ahir pendidikan bukan mengejar materi,
akan tetapi pendidikan adalah pembangunan jasmani dan rohani,
kognisi,afeksi dan mental, seperti yang di ungkapkan Ki Hajar
Dewantara , Pendidikan harus di titik beratkan pada jati diri manusia
sendiri dan penilaian keberhasilan terhadap pendidikannya bukan dari
dari konsep atau hasil yang telah dicapai, tetapi keberhasilan
pengembangan jati diri dan sampai di mana dia berhasil menguasai hasil
jerih payahnya bukan hasil jerih payahnya yang menguasai manusia itu
sendiri.nah itulah tugas para guru yang  hendaknya menjadi pribadi
yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian
menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para
peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Tidak hanya saja
hari ini kita lebih mengenalnya dengan bahasa ,sebutan Guru
professional, yang ahli, dan cerdas di bidangnya, bukan maksud
menyinggung, akan tetapi kita mencoba menkaji dan merasakan dari hati
kehati meskipun itu hanya sekedar bahasa sebutan.Akan tetapi lebih
penting dari itu adalah menekankan pentingnya pelestarian eksistensi
manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya,
sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara
menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa
(konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !”
Akar Pondasi sebuah bangsa tentunya harus di ilhami oleh setiap warga
Negara yaitu Pancasila yang dikatakan sebagai filsafah hidup bangsa
karena menurut Muhammad Noor Syam (1983: 346), nilai-nilai dasar dalam
sosio budaya Indonesia hidup dan berkembang sejak awal peradabannya,
yang meliputi:
1.      Kesadaran ketuhanan dan kesadaran keagamaan secara sederhana.
2.      Kesadaran kekeluargaan, di mana cinta dan keluarga sebagai
dasar dan kodrat terbentuknya masyarakat dan sinambungnya generasi.
3.      Kesadaran musyaawarah mufakat dalam menetapkan kehendak bersama.
4.      Kesadaran gotong royong, tolong-menolong.
5.      Kesadaran tenggang rasa, atau tepo seliro, sebagai semangat
kekeluargaan dan kebersamaan, hormat demi keutuhan, kerukunan dan
kekeluargaan dalam kebersamaan.
Itulah yang termaktub dalam Pancasila dengan 36 butir-butirnya. Dengan
begitu, pada dasarnya masyarakat Indonesia telah melaksanakan
Pancasila, walaupun sifatnya masih merupakan kebudayaan. Nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila tersebut sudah berababd lamanya
mengakar pada kehidupan bangsa Indonesia, karena itu Pancasila
dijadikan sebagai falsafah hidup bangsa.Jika pendidikan suatu bangsa
akan secara otomatis mengikuti ideologi bangsa yang dianut, karenanya
sistem pendidikan nasional Indonesia dijiwai, didasari dan
mencerminkan identitas Pancasila. Sementara cita dan karsa bangsa
kita, tujuan nasional dan hasrat luhur rakyat Indonesia, tersimpul
dalam pembukaan UUD 1945 sebagai perwujudan jiwa dan nilai Pancasila.
Cita dan karsa itu dilembagakan dalam sistem pendidikan nasional yang
bertumpu dan dijiwai oleh suatu keyakinan, dan pandangan hidup
Pancasila. Inilah alasan mengapa filsafat pendidikan Pancasila
merupakan tuntutan nasional, sedangkan filsafat pendidikan Pancasila
adalah subsistem dari sistem negara Pancasila. Dengan kata lain,
sistem negara Pancasila wajar tercermin dan dilaksanakan di dalam
berbagai subsistem kehidupan bangsa dan masyarakat.
Dengan demikian, jelaslah tidak mungkin Sistem Pendidikan Nasional
dijiwai dan didasari oleh sistem filsafat pendidikan yang selain
Pancasila. Hal ini tercermin dalam tujuan Pendidikan Nasional yang
termuat dalam UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, yakni: pendidikan nasional bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya,
yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan, kesehatan
jasmani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab
kemasyarakatan.

PERGURUAN TINGGI ISLAM SEBAGAI SAALAH SATU ALTERNATIF DAN HARAPAN BAGI TERSELESEINYA  PROBLEM PENDIDIKAN dan
PERGULATAN FALSAFAH PENDIDIKAN

        Di antara ratusan universitas di Indonesia yang berdiri,pendidikan
perguruan tinggi islamlah yang  tetap mempertahankan keunikanya selama
 ini dalam menerapkan kurukulumnya dengan dua kelmuan yang saling di
integrasikan. Yaitu ilmu agama(religius science) dan ilmu umum (scular
science) yang keduanya terkadang masih saja di sikapi dengan
dikotomik. Hal itu muncul olah akibat pergulatan filsafat barat yang
menekan dan masuk dalam ranah pendidikan, dan memunculkan
pemikiran-pemikiran baru yang secara otomatis berbenturan dengan
konsep keilmuan islam di PTAI di indonesia.
        Perlu di ketahui bahwa Perguruan tinggi islam sampai saat ini masih
di pandang sebagai basis pemikiran islam di indonesia.baik
UIN,STAIN,IAIN ataupun perguruan tinggi islam swasta yang menonjolkan
pengajaran agama yang selama ini sudah cukup berperan dalam kehidupan
bangsa terutama pembangunan di tingkatan mentalitas moralitas agama
yang sebenarnya sangat berefek baik bagi sikap dan mentalitas anak
didik, namun  masih belum di sadari dan di hargai, karena  masih ada
anggapan perguruan tinggi islam ketinggalan dan di pertanyakan juga di
perbandingkan juga di ukur dari sudut pandang keilmuan barat, PTAI
masih saja di sudutkan secara akademik maupun di kebijakanya selama
ini, taruhlah problem output dari PTAI masih terdikotomikan
keilmuanya, hingga di saat mereka harus bergelut dengan kehidupan
sosial, memaksanya loncat pagar dari keilmuanya, karena
ketidakpuasanya studi di PTAI, yang terjadi mereka berdiaspora melalui
rumpun usaha yang mereka tekuni yang lepas dari keilmuanya. jika hal
tersebut tetap tumbuh dan berkembang di pemikiran mahasiswa muslim dan
di beberapa buku-buku yang beredar, yang masih secara pemikiran
mengkritik habis-habisan dan mempertanyakan masa depan pembindangan
keilmuan PTAI baik dari pembidangan kurikulum agamanya yang mengarah
pada timur tengah terutama mesir, dengan orientasi mencetak lulusan
ulama dan mengembangkan islam ataupun  outputnya dan menyisakan banyak
persoalan lainya yang di anggap sebagai kelemahan dalam pendidikan
islam , dari hal itu ketidak percayaan terhadap PTAI akn semakin
tinggi,maka akan di pastikan sedikit-demi sedikit perguruan tinggi
islam akan bergeser dan berkiblat pada universitas barat yang sangat
menonjol dan maju di bidang sains dan teknologinya. Bila hal itu
terjadi maka sepertinya tak ada harapan lagi bagi pendidikan di negara
ini yang mampu di amanatkan menekan arus globalisasi yang semakin
memasung pemuda-pemudi bangsa ini dalam dunia kebebasan yang lepas
dari jerat-jerat moral dan etika dalam agama dan falsafah bangsa. Di
sadari tidak bahwa sanya PTAI secara tidak langsung sangat berpran
dalam pembangunan moral dan mental dengan kurikulum agamanya yang
sudah tentu terintegrasi di dalamnya falsafah kebangsaan ini yang
sangat menjujung tinggi nilai ketuhanan dan moral.
        Seperti itulah dampak globalisasi dari sudut pandang pemikiran
pendidikan yang terjadi di mana PTAI akan di pertanyakan kelayakanya
ketika berdampingan dengan Universitas umum, inilah tantangan bagi
keilmuan PTAI di zaman globalisasi, kritik-kritik tajam yang muncul
merupakan perwujudan support untuk majunya sebuah keilmuan yang di
harapkan mampu terus maju dan berkembang, bukan sebaliknya membuat
tidak percayaan diri. Hal ini bisa kita tunjukan bahwa PTAI, mampu
bersaing keilmunya dan moralitas anak didiknya yang masih terjaga dan
ber-etika ,Karena landasan Filosofis Pendidikan Agama Islam ialah
bahwa negara berdasarkan Pancasila, dimana sila yang prtama adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa.(Alim, 2006:4).   Selanjutnya Ahmad Tafsir
(2006:73) mengemukakan bahwa Pancasila sebagai falsafah Negara
Republik Indonesia pertama,   yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,  yang
berarti ajaran bahwa(1) warga negara Indonesia harus beragama, (2)
oprasi  negara  harus sesuai dengan ajaran agama.


INTEGRASI KEILMUAN DI PTAI SEBAGAI JAWABAN.
       Istilah “pendidikan” dalam pendidikan Islam kadang-kadang
disebut al-ta’lim. Al-Ta’lim ,“pengajaran”,  al-ta’dib, “perjamuan
makan”  atau pendidikan sopan santun,  al-Ghazali menyebut
“al-riyadhat. Al-Riyadhat artnya olah raga atau pelatihan” Sedangkan
Landasan Teori Tentang PembelajarannySayid Sabiq mengemukakan bahwa
“Pendidikan Islam ialah mempersiapkan dan menumbuhkan anak dari segi
jasmani, akal dan rohani sehingga ia menjadi anggota masyarakat yang
bermanfaat, baik untuk dirinya maupun bagi umatnya”
     Pengertian pendidikan Islam sebagaimana tersebut di atas,
memperlihatkan perbedaan antara pengertian pendidikan Barat dengan
pendidikan Islam. Pendidikan Barat dengan pendidikan Islam yang
pertama sekali yaitu mengenai fungsi pendidikan yakni sebagai jembatan
dan pemindahan nilai-nilai. Perbedaan ini akan menyangkut kepada
persoalan nilai mana yang akan dipindahkan dan apa sumber nilai-nilai
itu Dalam Islam ada tiga macam sumber nilai yang diakui, yaitu:
Al-Qur’an, sunnah dan ijtihad. Sedang sumber Barat hanya bersumber
dari hasil pemikiran dan penelitian serta adat kebiasaan masyarakat
tertentu.
Dasar itulah yang menjadi alasan mendasar pentingnyaIntegrasi keilmuan
umum dan agama adalah jawaban persoalan atas problem pendidikan yang
muncul di negara kita yang semakin kering dan jauh dari falsafah
kebangsaan kita yang di dasari oleh keyakinan berketuhanan beragama
yang nantinya mampu mencetak sarjana yang religus dan berwawasan
technologi yang maju,bermoral dan mapan. Perlu di ketahui Model
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang lahir dari sebuah kegelisahan
umat Islam menghadapi dikotomi ilmu agama dan ilmu umum serta
keterpisahan intelektual dan spritual. Terjadi dikotomi antara Ilmu
Ke-Ilahian dengan Ilmu ke-alaman, atau antara wahyu yang tersurat
dalam bentuk ayat-ayat Qur’aniyah dengan ayat-ayat Qauniyah
(Sunnatullah) hasil  empirik.Dualisme Pendidikan tersebut,  sudah
terjadi sejak manusia berada di mukabumi ini, pandangan seperti itu
yang paling menonjol ialah pada masa Kemal at-Turk, dengan munculnya
ide-ide sukularisme yang dikembangkan di Turki, selanjutnya untuk
konteks Indonesia, diperkuat oleh hadirnya sistem Pendidikan Barat
yang dibawa oleh Kolonial Belanda, sebelumnya  telah berkembang
Pendidikan  tradisional, yaitu Pesantren, sebagai  lembaga pendidikan
tertua dan   pusat pendidikan rakyat, juga sekaligus sebagai simbul
perlawanan terhadap kolonial  Belanda.Penafsiran kembali terhadap ayat
dan sunnah yang memuat konsep-konsep dasar tentang pendidikan, yaitu
Tarbiyah, ta’lim, ta’dib, tadris, dengan metode burahani, irfani,
irsyadi dan bayani diharapkan dapat memberi solusi atau model
pembelajaran yang komperhensif, integratif.
Dan PTAI yang merupakan lembaga pendidikan yang di dalamnya
menyuguhkan dua keilmuan sekaligus, untuk mewujudkanya harus segera
berbenah dengan mencoba mengintegrasikan pendidikan technologi dan
agama hingga tidak terkesan ketinggalan jaman dan mampu berjalan di
tengah laju globalisasi yang semakin cepat. Sebagaimana di ketahui ,di
kebanyakan lembaga pendidikan islam saat ini ,milai dari madrasah
ibtidaiyah (M.I) sampai lembaga perguruan tinggi islam para Guru dan
Dosen masih kurang dalam mengintregasikanya kaitanya dengan
dasar-dasar filosofis yang mapan, artinya pemberian bekal keilmuan
umum yang di intergrasi oleh pendidikan agama sebagai bekal ilmu yang
seharusnya sempurna, kurang utuh dan komprehensif pada mahasiswa.
        Apa yang di maksud integrasi bukan sekedar menggabungkan pengetahuan
umum dan dan agamaataupun bekal norma keagamaan kepada calon sarjana,
akan tetapi integrasi adalah : upaya menghubungkan kembali ilmu
pengetahuan umum dan agama yang berarti menghubungkan kembali
sunnatulloh (hukum Alam) dengan Al-Qur’an yang kedua-duanya ayat
Tuhan.Bagaimana integrasi itu di lakukan? Sebuah pertanyaan mendasar
dan butuh jawaban yang nantinya mampu di lakukan, di mana dua buah
keilmuan di padukan, misalnya pendidikan yang bersifat umum dengan di
celupkan ke wadah keilmuan agama, begitu juga integrasi ini di dasari
dan di celupkan ke falsafah kebangsaan kita PANCASILA ,sehingga
keilmuan yang masuk dan akan di pelajari dari luar meskipun dari barat
akan terfilter dengan baik, bila mana keilmuan itu di celupkan itu
mampu menyatu dengan cara bedah kultur bangsa ini maka akan cocok di
terapkan dan di praktekan sesuai falsafah kebangsaan kita. seperti
halnya filsafat yang di celupkan dalam keilmuan islam maka di sebut
filsafat islam, tidak menjadi persoalan, pada ahinya menjadi sebuah
pisau analisis pembedahan yang berdasarkan A-Quar’an dan hadist dan
itulah yang di sebut Islamisasi Ilmu.
Dan harapan besar bagi kampus kita tecinta dengan perubahanya dari
stain menuju IAIN di harapkan mampu membawa masa depan PTAI menjadi
lebih baik…
Toloooong edit ulang,,,jka perlu pnambahan silahkan….tengkyu,,,,

.ctt: di terbitkan dalam majalah dimensi STAIN tulungagung 20013



DAFTAR PUSTAKA
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/03/pengaruh-globalisasi-terhadap-bangsa-dan-negara-indonesia/
Ramayulis.H.(2002) Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Seri Ensiklopedia Islam dan Sains,Intlektualisme Islam Melacak
Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama, Lembaga Kaian Al-Qur’an dan Sains
(LKQS) UIN Malang.

Template by:

Free Blog Templates