Sabtu, 11 Maret 2017

"NOVEL "SYAHADAT"BAG 3


BAGIAN 3
Ikhtilaf

Kabut sebentar mampir, ia pergi setelah matahari bersinar dahan, daun, dan ranting pohon tertunduk dingin oleh embun yang yang menyelimutinya semalam. Mulai mengangkat dirinya setelah sinar matahari mengeringkanya, segar dan membuat alam menjadi sejuk. Begitu pula lalu lalang warga berbaris seperti kerumunan semut, berduyung-duyung berjalan tanpa alas kaki menggendong barang-barang yang ada di pinggangnya. Berisi hasil panen kemarin sore, dinginya pagi tak membuat mereka menutup diri dengan selimut tebal di rumah mereka.
Mereka menapaki meter per meter jalan yang rapi tertata paving berkelok-kelok memutari desa, menuju perempatan di mana mobil-mobil pickup menunggu mereka dan membawa mereka ke pasar kota. Desa Farhan   berada di pinggiran kota semarang, desa itu begitu nyaman ketika di kunjungi, namun kenyamanan itu sudah barang tentu ada karena kondisi alam pegunungan yang masih terjaga.

Namun berbeda dengan kondisi spiritual dan pengetahuan agama yang ada di sana masih minim, masyarakatnya masih awam dan masih banyak menggunakan ritual-ritual adat lama, keguyuban di sana juga di warnai fanatisme begitu tinggi, juga egoisitas seorang tokoh begitu menonjolkan dirinya sebagai sosok tokoh masyarakat yang ingin selalu di segani dan selalu ingin berada didepan. Ia adalah kiyai masjid di desanya, Ialah kakek keluarga Evida yang elit dan mewah, yang mendirikan bangunan masjid itu dari bantuan pemerintah, maklum selain keluarganya kaya raya, salah satu anggota keluarga yaitu ayah Evida  adalah satu-satunya pemuda di desa yang bisa kuliah dan lulus dari kampus, yang kemudian menjadi salah satu tokoh politik dan ketua ORMAS yang  di anggap radikal. Ayah Evida seorang yang cerdas dan merupakan tokoh agama di jemaahnya, yang juga kontraktor sukses di kota semarang.

Farhan hanyalah bagian terkecil dari kampungnya, pemuda kampung yang berusaha mengikuti perkembangan luar, ia di kuliahkan ayahnya di salah satu universitas swasta Islam di kota semarang. Pemuda yang sejajarnya di kampung tidak seberuntung dirinya banyak di antara warga yang belum mampu menguliahkan anak-anak mereka. Karena kesadaran pendidikan sebatas tingkatan SD dan maksimum SMP, itupun Perlu pemaksaan dan usaha keras dari aparat desa karena warga kami lebih suka jadi pekerja di kota sebagai kuli bangunan dan sebagain menggarap lahan di hutan. Yang lulus SMP pun lebih memilih kerja di pabrik. Untuk urusan keagamaan cenderung didominasi oleh keluarga Evida.

         Sedang untuk urusan adat, di desanya sangat kental di percayakan kepada kakeknya, seorang tokoh masyarakat yang sangat di tuakan, beliau adalah almarhum kakek Farhan yang cenderung membiarkan adat istiadat tetap berlangsung di masyarakat, kakeknya dulu adalah pejabat desa dengan latar belakang jawanya yang melekat, sangat menghormati keyakinan warganya yang masih sulit untuk menerapkan syariat Islam dan masih enggan belajar agama Islam.

Banyak warganya yang masih belum mau melaksanakan sholat, karena sebagian warga desa umumnya abangan dan menutup diri. Namun beliau tidak menyerah, beliau mengajarkan Islam kepada warganya dengan mengakrabi dengan bahasa-bahasa ketauhidan yang ringan, dengan santun tanpa memaksakan, namun cenderung merubah kebiasaan masyarakat dengan cara halus dan kalem, kesabaranya sangat di akui warganya. Hingga sampai sekarang urusan adat dan keagamaan masyarakat mempercayakanya kepada keluarga Farhan dan keluarga Evida sampai sekarang sudah turun temurun dan di lanjutkan oleh ayahnya dan ayah Evida .

 Antara ayahnya dan ayah Evida  berbeda jauh, ayahnya berasal dari keluarga sederhana, sedang ayah Evida  dari keluarga kaya dan tuan tanah di desa. Sebenarnya mereka berdua di masa sekolah adalah dua sahabat yang akrab, keakraban mereka teputus selepas mereka lulus dari sekolahan aliyah yang sama. Setelah aliyah ayah Evida  melanjutkan kuliah, sedang ayahnya meneruskan pendidikanya ke pesantren di Jawa Timur.

Desanya mulai berkembang,sekarang sudah banyak warganya yang sadar akan pentingnya endidikan. Selain ayah Evida yang sarjana juga ada sebagian pemudanya yang sudah pergi mondok di pesantren-pesantren di wilayah jawa tengah. Juga samapi ke luar propinsi, di Jawa Timur salah satunya. Ayah Farhan biasa di panggil H. Rosyid, sepulang dari pondok beliau menikah dengan seorang putri cantik dari keluarga pengusaha kecil dari kudus yang kebetulan mondok juga di pondoknya, ya itulah ibunya.

Setelah menikah beliau berdua membeli sebidang tanah untuk membuka usaha toko dan foto copyan di dekat sebuah kampus di semarang. Setelah 1 tahun menikah ayahnya kemudian pergi haji bersama ibunya, tepat saat Farhan masih 3 bulan dalam kandungan.

 Perbedaan itu tidak tau siapa yang memulai duluan, perbedaan yang sebenarnya hanya khilafiah furuiyah dalam agama yang kini melahirkan fanatisme yang berlebihan.
Sebenarnya ayahnya dulunya berangkat ke pesantren, berawal dari kejanggalanya ketika ia mengamalkan ilmu yang di turunkan kakeknya kepadanya. Hingga akhirnya kejanggalan itu terjawab ketika suatu hari beliau di datangi seseorang yang mengaku pernah nyantri di Jawa Timur namanya kang Abdul Rochim. Dalam pertemuan singkat ayahnya di uji oleh orang tersebut.
Sehabis magrib, ayahnya duduk di kursi depan halaman rumah di bawah pohon durian yang besar beliau terlihat was-was dan gundah, beberapa saat kemudia seseorang memasuki halaman rumah.
Orang asing pembawa pesan .
“Assalamualaikum warohmatulloh” . ucap orang itu.
Ayahnya Rosyid,waalaikum salam warohmatullohmonggo silahkan masuk”.
“Iya terima kasih kang, jawab tamu itu. Setelah masuk dan duduk ayahnya bertanya“Maaf panjenengan sinten?
Tamu,saya Abdul rohim, rumah saya desa sebelah, apakah anda kang Rosyid?.
Iya benar, saya rosyid, ada keperluan apa bapak dengan saya?.
Sebelumnya saya ingin ucapakan saya silaturrahmi dan kedua saya ingin minta tolong ke njenengan.
Rosyid, iya pak, apa yang bisa saya bantu.
Tamu, begini pak saya sebenarnya sakit, dan gak tahu sakit apa yang saya derita, kalau siang saya terasa kedinginan, kalau malam saya kepanasan.
Rosyid, owwsudah lama pak sakitnya?
Tamu, lumayan lama.
 Kemudian Ayahnya memegang tanganya, dan memejamkan mata. Mulutnya seperti membaca sesuatu, mukanya lama-lama memerah seperti merasakan panas yang amat panas, seperti api yang membakar, dan beberapa saat kemudian ia terlempar dan lepas dari genggaman orang itu.
Tamu, Mas anda tidak papa?
Rosyid hanya diam saja, dan langsung memegang keduan tangan tamu itu dan bertanya, pak anda tidak sakit, kan? dan apa maksud dan tujuan bapak ke saya, mohon petunjuknya?.
Tamu, Wahai rosyid, engkau sebenarnya sudah mengetahui apa yang selama ini terjadi dalam dirimu, engkau merasa janggal atas apa yang engkau alami ini, terutama amalan yang di turunkan dan di wariskan kakekmu juga ayahmu kepadamu.
Rosyid sedikit kaget dengan apa yang di sampaikan Tamu itu dan bertanya lalu apa yang harus saya lakukan?.
Tamu, Mas Rosyid masih muda, sebelum semua mendarah daging dalam dirimu, bila engkau yakin dengannya dan menerima tawarannya, silahkan. kalo tidak gak masalah baginya, saya hanya bertugas mengingatkanmu.
Rosyid, iya, saya yakin dengan apa yang bapak katakan tawaran apa yang bapak ingin berikan kepada saya? saya siap menerimanya.
Tamu, sebenarnya ilmu yang di wariskan kepadamu dari kakek dan ayahmu tidak salah, tapi juga kurang sempurna adanya.
Rosid, lantas apa yang sebenarnya?
Tamu, sebenarnya semua ilmu adalah hak Allah, menyembuhkan, mengobati, semua milik Allah, dan engkau belum memahami itu, wadahmu besar untuk menerima ilmu lebih dari itu yang lebih haq dan akan di sempurnakan dengan ajaran Islam, namun tidak semua yang kau dapat hari ini, semua harus di di tinggalkan ataupun di musnahkan, namun perlu di benahi kang.
Rosyid, bagaimana caranya?
Tamu, Butuh proses, semua yang di wariskan ayahmu berupa pusaka biarlah tertata di tempatnya, karena semua itu hanya bentuk wadah. Bungkusan dan kalaupun ada isi di dalamnya hanya perlu di daur ulang kembali. Kepercayaanmu terhadap sesuatu itu cukuplah sebagai wujud penghormatan dan menjaga warisan leluhur, dan menjadi cerita anak cucu kita nanti.
“Dan yang terpenting adalah dirimu sendiri, engkau harus menggeser kekurang sempurnaan pemahamanmu perlu kau menkajinya dan mencari kesempurnaannya maka sempurnakanlah dengan aturan Al-Quran dan hadist seperti yang para auliya, wali-wali 9 di jawa ajarkan sebagai landasan untuk menyembah Allah.
“Berangkatlah esok hari rabo ke Jawa Timur, datanglah ke sebuah pondok pesantren kecil yang kiyainya masih muda dan penampilanya gak beda jauh sepertimu”.
Rosyid, di mana alamatnya pak?
Tamu; nanti malam kamu akan tahu sendiri, dan saya pamit dulu, esok sebelum berangkat mampirlah ke rumahnya.
Kemudiann orang itu memberikan secarik kertas yang berisi alamat dan bacaan amalan dari surat Al-Quran untuk di baca Rosyid setelah sholat malam.
Akhirnya dari situlah Rosyid tahu siapa tamu itu, ternyata Ia adalah kang Fauzy seorang tokoh relegius di sebuah desa di Magelang.
Rosyid banyak bertanya soal pemahaman ilmu yang di turunkan ayahnya kepadanya yang secara alami ada kepada dirinya (nitis) dari proses diskusi yang panjang dengan kang Fauzy tadi. Alhasil akhirnya Rosyid berangkat ke pesantren di mana kang Fauzy pernah nyantri di sana. Akhirnya beIiau pun  mondok di sebuah pesantren di karisedenan Kediri Jawa Timur. Di sana ia cukup rutin mengaji meskipun ia belum bisa nulis arab, karena di pondok itu kebanyakan yang nyantri berlatar belakang tidak karuan waktu di rumahnya.
Ambil contoh saja kang Bejo seorang bapak-bapak dari Sumatra, dulu ia mantan buronan yang pernah di cari polisi, karena ia menjadi seorang perampok. Pelarianyapun tak terduga berahir di pesantren di pondok Rosyid menimba ilmu. Di sana santri semacam kang Bejo dan Rosyid gak cuma mereka berdua karena semacam mereka juga banyak. Tidak bisa menulis dan kenal huruf arab, namun alasan tidak mengenal huruf arab tidak memutuskan harapan mereka mengenal Allah, di mana kepada awalnya santri-santri semacam mereka berdua ingin mondok untuk mecari ilmu husus ( ilmu kanuragan, ilmu jadug ) dari para Kyai-Kyai hebat di Jawa Timur.
Namun hal itu di tolak sang Kyai pondok dengan menjelaskan kepada mereka bahwa yang namanya pondok itu tempat belajar ngaji Al-Quran, hadist, juga kitab kuning. Bukan mencari ilmu kanuragan, kejadugan, perdukunan, tapi mencari ridho Allah dan mengenal Allah yang wahid. Dan sang Kyai menyuruhnya untuk mengikuti sekolah diniyah, karena kang Bejo sangat awam sekali, apa lagi ia mantan perampok maka ia pun  di perintah kyai masuk ke kelas ibtida atau juga di kelas bawah untuk anak-anak. Ia mulai belajar dengan siswa yang pantas untuk jadi anaknya, tapi mentalitasnya dari rumah yang sudah kuat tidak membuatnya malu atau putus asa untuk belajar.seperti hadist yang mengatakan
Dalam kitab Maqaashidul Hasanah ada tambahan : FAINNA THOLABAL 'ILMI FARIDLOTUN 'ALA KULLI MUSLIMIN.  Jadi kalau dirangkai: karena sesungguhnya menuntut ilmu itu diwajibkan atas tiap-tiap orang Muslim.
Begitulah kisah Rosyid waktu di pesantren. Setelah Ia pulang dari mondok, di desa keberadaan Rosyid cukup di sepelekan sang Kyai desa yaitu keluarga dokter Amin, selain H. Abdullah yang selama ini bermusuhan dengan kakeknya, kemudian berlanjut dengan ayahnya. Karena perselisihan pendapat tentang pemaknaan ajaran Islam yang di ajarkan oleh kedua leluhur mereka berbeda, H.Abdullah sebagai sesepuh desa, tidak sepakat dengan cara yang di ajarkan kakeknya kepada Rosyid, yang melaksanakan ajaran Al-Quran dan hadist dengan tidak meninggalkan adat-istiadat yang berlaku, karena beliau berpedoman pada pesan; ´almuhafadzotu ala qodimissaleh wal ahdzu bil jadidil aslah yang artinya menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil yang baik-baik saja .
Sebenarnya ayahnya tidak mempersoalkan dan menganggap semua selesai. Sederhananya ayah tidak mau di warisi sebuah perseteruan yang merenggangkan ukhuwah Islam di antara generasi generasi berikutnya. Meskipun semenjak kepulanganya ke desa dan menikahi ibu, beliau malah sangat tidak di sukai oleh para pengurus masjid, terutama sang Kyai, karena ayah jelas-jelas akan di anggap menjadi rival dan panutan baru di mayarakat dengan backgroundnya yang pesantren.
 Watak yang penyabar, legowo, dan kesabaran ayahnya menghadapi ejekan sampai fitnah dari keluarga DR.Amin ataupun sidiran juga celaan sang Kyai Abdullah yang terus terang mengatakan bahwa ayahnya itu beraliran ilmu hitam dan lain-lain. Demikian juga beliaupun di cap bahwa pondoknya sesat.
 Namun ayahnya tetap dengan santainya menghadapi cercaan itu. Ia tetap santai dengan keluarganya yang sederhana yang juga pas-pasan. Di sela keseharian beliau mengajari Farhan mengaji Al-quran hingga ahirnya banyak anak tetangga seperantara Farhan ikut datang mengaji bersama di rumahnya. Ibunya juga membantu menyemak dan mengajari baca tulis arab dan baca al-Quran bagi anak perempuan.
Kesantaian dalam kehidupan ayah Farhan bermasyarakat sedikit banyak mempengaruhi beberapa orang tetangganya yang melihatnya. Gaya bicaranya waktu musyawarah RT pun tidak kalah menarik dengan lulusan sarjana lulusan universitas luar negeri di desa, yaitu  DR.Amin atau ayah Evida, yang merupakan penerus ayahnya sebagai Kyai dan imam masjid itu nantinya.
H.rosyid (Ayah Farhan) dan DR.Amin (ayah Evida) adalah sahabatan akrab di masa kecilnya. Dulu saat mereka masih kecil bermain bersama, di atas kerbau peliharaan mereka berpegangan erat seperti menaiki seekor gajah besar, memandikanya bersama, kemudian bermain bersama di sungai belakang rumah, dulu mereka bahagia, sebelum ahirnya mengerti pilihan dalam hidup, dulu mereka selalu bersama sebelum mereka mengerti dan harus menerima ihtilaf.
Farhan pernah mendengar banyak cerita soal ayahnya dan ayah Evida, cerita itu dia dengar dari tetangga dan juga teman dari ayah yang juga teman ayah Evida  juga. ”dulu mereka sepertin tiga serangkai”, sahutnya bercerita padanya,“memang mereka berdua dulu selalu bersaing dalam berbagai hal mulai pelajaran  juga yang menjadi alasan selain itu adalah latar belakang keduanya yang saling bersebrangan dalam pemikiran, ayahnya cenderung lebih memilih pemikiran tradisional sedang ayah Evida  lebih suka pemikiran Islam modern, keduanya sering adu pendapat, ia hanya bisa melihat tanpa mengerti apa yang mereka debat, seperti wasit yang melotot dan mengamati penjaga garis kalau terjadi offside, anarkisme di luar batas, hanya pelereinya. Sambil tersenyum beliau berkisah masa lalunya bersama ayahnya dan ayah Evida .
Ayahnya adalah lulusan pesantren salaf tradisional di Jawa Timur.  Beliau cukup lama menuntut ilmu di sana, pemahaman ajaran Islamnya cukup kental dan cenderung kolot terutama pemikiran-pemikiran dari ulama kuno yang beliau pelajari dari kitab kuning. Beliau sangat disiplin dalam mengulas keilmuan-keilmuan yang di dapatnya dari pesantrennya. Beliau berangkat dari desa di pinggiran kota semarang dengan latar belakang kebudayaan yang sarat dengan warisan leluhur yang sangat kompleks.
Dari muda beliau belajar banyak memahami kebudayaan kakek yang mewarisi banyak keilmuan kuno jawa yang telah turun temurun. Ilmu jawa dan pemahaman kebudayaan leluhurnya sangat melekat kepada dirinya. Hampir menjadi karakter kejawaanya memang kakeknya kalau di desa dulu di sebut sesepuh yang mana segala macam adat istiadat dari mulai kelahiran, pernikahan sampai tradisi upacara kematian selalu di pasrahkan kepadanya, sebab Beliau sesepuh dan juga pejabat desa, seorang jogo boyo atau secara umum di sebut provesi yang identik dengan petugas desa yang mengurusi keamanan dan kenyamanan warga. Dan di dapuk juga sebagi ahli sepiritual dan adat warga desa, terutama pernikahan dan kematian. Selain itu Beliau juga seorang paranormal atau di desa di sebut dukun, seorang yang dengan keilmuannya mampu mengobati orang sakit dari sakit fisik sampai penyakit mistis sekalipun, tak berbeda dengan ayahnya.
Beliau juga di turuni ilmu oleh kakek, sejak muda ayah sudah lain dari umumnya warga muda di desa. Dari muda Beliau selalu tirakat, puasa dan mutih (tidak makan selain nasi) itu pun bertahun-tahun beliau lakoni, begitu juga Beliau sering puasa ngebleng (semedi dalam sebuah ruangan yang di buat di tanah seperti sebuah ruang pengkuburan orang mati) berhari-hari beliau memendam dirinya dalam tanah itu. Selain itu juga Beliau jago kanuragan, namun beliau jarang atau tidak memakainya sama sekali, karena beliau tidak begitu senang dengan kanuragan, tapi teman-teman kampungnya banyak minta belajar kepadanya.  Bersambung...ke bagian berikutnya...😊TUNGGU LANJUTANYA GUYS..

Template by:

Free Blog Templates