Kamis, 15 November 2012

MENGGALI KEMBALI AKAR FALSAFAH PENDIDIKAN DI TENGAH ARUS GLOBALISASI DAN PROBLEM KEBINGUNGAN PENDIDIKAN DALAM MENGARAHKAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL.


MENGGALI KEMBALI AKAR FALSAFAH PENDIDIKAN
DI TENGAH ARUS GLOBALISASI DAN PROBLEM KEBINGUNGAN PENDIDIKAN DALAM MENGARAHKAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL.

(Oleh ; Fathur roby Akhifiellah.mahasiswa semester 3 pasca sarjana STAIN Tulungagung)

Berbicara  pendidikan  tak ubahnya seperti membicarakan sebuah persoalan yang tiada pangkalnya,begitu juga problem pendidikan yang tak ubahnya nseperti  pepatah perjuangan  yang sering kita dengar “ mati satu tumbuh seribu” persoalan pendidikan yang selalu muncul  dan  hadir silih berganti mewarnai dan menjadi  dinammika problem pendidikan nasional kita, misalnya problem kurikulum pendidikan yang berahir pada evaluai ahir pendidikan yang di sebut UAN, yang  sudah sudah di di tetapkan dan berjalanpun  tetap belum menemukan kesepakatan dan  evaluasi yang sempurna sehingga benar-benar menjadi  sebuah  pilihan dari sebuah visi dan misi pendidikan nasional kita.
Dalam tulisan sederhana ini penulis tidak akan membahas secara serius mengenai pendidikan secara disiplin menurut keilmuan filsafat, akan tetapi hanya menampilkan secara umum saja, yang terkait dengan falsafah pendidikan kita, Memang tidak mudah  merumuskan  sebuah metode,dan  kesepakan dalam merumuskan sebuah tujuan,dan landasn pendidikan secara filosofis,dan membongkarnya dengan metode filsafat, akan membutuhkan belasan atau ribuan lembaran untuk menulisnya, yang kemudian dapat di jadikan  visi dan misi pendidikan yang efektif dan sesuai dengan kultur kebudayaan sebuah negara.  Langsung saja Kita tengok berawal dari  persoalan yang sering muncul di wajah muram pendidikan nasionaal kita yang melahirkan anak didik yang semakin jauh dari nilai-nilai dan norma kebudayaan kita, tawuran pelajar yang dulu hanya berada di tingkat pelajar sekarangpunn sudah  terbawa  dan secara kontinuitas tumbuh di perguruan tinggi, tak ubahnya sebuah virus menular yang menjangkiti  pada tubuh anak didik yang tak usang sembuh hingga terbawa di kampus dan menjadi budaya negative yang semakin   berkembang dan sulit di sembuhkan,di tambah lagi pergaulan bebas,dan sex bebas di antara pelajar,yang memicu persoalan di tingkatan internal sekolahan hingga menjadi problem social yang meresahkan, dan yang sangat meggoncangkan lagi beberapa waktu yang lalu terjadi pembunuhan oleh pelajar hingga kemudian sampai pada ranah hokum dan ham dan menjadi persoalan pelik yang berbuntut panjang yang menghadirkan,memunculkan berbagai tanda Tanya besar terhadap kualitas dan tanggung jawab lembaga pendidikan yang selama ini sangat di percaya dan di harapkan mampu memberikan pendidikan yang berkualitas secara rohani dan jasmani terhadap generasi bangsa ini
            Bila kita bertanya kenapa pendidikan kita seperti itu? Apa yang membuat anak didik bermental kurang baik? Apakah yang salah dari visi dan misi pendidikan kita? Kenapa muncul budaya anak didik yang semakin jauh dari akar kultur kita? dan kemana pendidikan kita akan di bawa? Dan masih banyak pertanyaan yang  mungkin lebih kritis dari pada itu, maka sungguh berat menjawab dan menjadi bebban yang berat bila mana semua itu tidak di landasi oleh kesadaran akan tanggung jawab bersama dari seluruh lapisan baik lembaga pemerintahan dan masyarakat dan rakyat Indonesia sebagia orang tua didik.
                  Di sadari atau tidak hal itu  akan trus berkembang dan me njadi persoalan yang  tentunya harus di carikan solusinya yang kemudian mampu di terapkan, namun akar persoalan semua  itu  tidak lain akibat menurunya ataupun bergesernya  pandangan atau falsafah pendidikan kita yang semakin jauh dari falsafah pendidikan kebangsaan kita. Hal itu terjadi oleh sebuah pergesekan halus  dari masuknya falsafah kebudayaan pendidikan barat yang semakin  menyusup ke ranah falsafah pendidikan kta, melalui arus besar yang kita sebut sebagai arus globalisasi, dan masuk ke seluruh sector kehidupan bangsa kita melaluli jalur Globalisasi Bidang .    Globalisasi Bidang Sosial Budaya ,Hukum, Pertahanan, dan Keamanan, Globalisasi Bidang Ekonomi Sektor Perdagangan, Globalisasi Bidang Ekonomi Sektor Produksi,dan lain sebagainya.
           
MEMFILTER DAN BERKACA UNTUK KESELAMATAN PENDIDIKAN KITA DI TENGAH ARUS GLOBALISASI

Arus globalisasi di picu oleh Faktor-faktor pendorong globalisasi antara lain:  Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Diterapkannya perdagangan bebas. Liberalisasi keuangan internasional, dan Meningkatnya hubungan antar negara. Sedangkan Tujuan globalisasi ada tiga macam, yaitu  Mempercepat penyebaran informasi dan Mempermudah setiap orang memenuhi kebutuhan hidup, Memberi kenyamanan dalam beraktifitas.dari situ persoalan kebangsaan ini muncul, di mana akibat filterisasi dari arus globalisasi yang kurang maksimal dan kurang kuat, dan masyarakat kita cenderung menerimanya mentah-mentah tanpa adanya filterisasi yang kuat .arus globalaisasi tersebut ahirnya mampu menyusup dam menjalar di seluruh aspek yang apabila tidak mampu memfiltyernya maka akan menimbulkan beberapa kenegatifan seperti halnya Dampan negatif globalisasi di bidang sosial budaya : Semakin mudahnya nilai-nilai negatif budaya barat masuk ke Indonesia baik melalui internet, media televisi, maupun media cetak yang banyak ditiru oleh masyarakat.Semaikin memudarnya apresiasi terhadap nilai-nilai budaya lokal yang melahirkan gaya hidup Individualisme : mengutamakan kepentingan diri sendiri, Pragmatisme : melakukan suatu kegiatan yang menguntungkan saja, Hedonisme : Paham yang mengutamakan kepentingan keduniawian semata, Primitif : sesuatu yang sebelumnya dianggap tabu, kemudian dianggap sebagai sesuatu yang biasa/ wajar, Konsumerisme : pola konsumsi yang sudah melebihi batas, Semakin lunturnya semangat gotong-royong, solidaritas, kepedulian, dan kesetiakawanan sosial sehingga dalam keadaan tertentu/ darurat, misalnya sakit, kecelakaan, atau musibah hanya ditangani oleh segelintir orang.

Namun Globalisasi memiliki arti penting bagi bangsa Indonesia, yaitu kita dapat mengambil manfaat dari globalisasi dan menerapkannya di Indonesia. Manfaat globalisasi antara lain kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mempermudah arus modal dari negara lain, dan meningkatkan perdagangan internasional.
Globalisasi memiliki nilai-nilai positif namun juga memiliki nilai-nilai negatif. Untuk menyaring nilai-nilai negatif maka kita harus berpedoman pada nilai-nilai Pancasila, karena nilai-nilai Pancasila sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Jika kita mengambil nilai-nilai negatif globalisasi, maka yang akan terjadi adalah kaburnya jati diri bangsa Indonesia dan masuknya kebiasaan-kebiasaan yang buruk.
Berbicara filterisasi terhadap arus globalisasi tentu saja membutuhkan banyak tenaga dan fikiran, namun secara sederhana dapat saya bahasakan dalam tulisan ini secara singkat, filterisasi arus globalisasi atau penyaring arus globalisasi yang begitu kencang ini agar tidak semua budaya barat masuk ke indonesisa, agar yang baik dapat diterima dan yang buruk tidak diterima dan lebih baik di buang saja.
Alat filter itu kita sebut Pancasila. Sejak dahulu pancasila menjadi pedoman dan cara hidup rakyat Indonesia, begitu kuatnya pancasila mempersatukan bangsa Indonesia. Pancasila merupakan salah filter yang tepat untuk menyaring globalisasi sehingga tidak semua budaya luardapat masuk begitu saja. Tetapi sekarang ini pengertian rakyat mengenai pancasila sudah luntur. Karena tidak adanya pendidikan pancasila lagi di sekolah di negeri ini. Derasnya arus globalisasi tiadak hanya terjadi dalam perekonomian saja akan tetapi juga merambah dunia pendidikan dengan mengadopsi pendidikan dari luar negeri seperti adanya program pemerintah untuk membentuk sekolah berstandar internasional yang hanya bertujuan agar peserta didik tidak latah ketika menuntut ilmu di luar negeri bahkan standar yang digunakan juga masing belum jelas.     
Belajar memfilter dan mengambil pelajaran dari budaya luar dalam Pendidikan yang nantinya mampu di jadikan sebagai parameter kemajuan suatu bangsa dan sudah semestinya menjadi sasaran utama dalam diskursus pembangunan nasional. Telah tercatat dalam Sejarah yang menuliskan bahwa pendidikan sangat berpengaruh terhadap watak suatu bangsa. Tengoklah 2 raksasa Asia dalam kemajuan teknologi, jepang dan dwi Korea (korea utara dan korea selatan).
Munculnya dua Negara tersebut dalam kancah internasional sangat erat hubungannya dengan reformasi pendidikan yang dilakukan pemerintah mereka. Jepang awalnya hanyalah negara kecil yang sangat getol mempertahankan tradisi nenek moyang yang jauh dari kesan modern. Sejarah klasik bangsa jepang sama dengan bangsa china yang penuh dengan pertarungan memperebutkan wilayah jajahan dengan pedang dan kekuasaan. Perubahan ektrem Jepang dimulai ketika mereka merombak pendidikan menjadi motor pergerakan dengan merubah tujuan dan system pendidikan. Pendidikan menjadi semacm alat untuk menciptakan manusia yang progresif menguasai IPTEK. Banyak siswa yang mengalami depresi dan bahkan bunuh diri karena kalah dalam kompetisi di sekolah. Humanisasi pendidikan hampir tidak ada, pembelajaran difokuskan pada ketuntasan menguasai teknologi. Kebijakan pendidikan yang sedemikian tentu memiliki sisi positif juga negative. Jepang menjadi negara yang diperhitungkan dalam kancah global karena kemampuan menguasai teknologi dunia. Hampir setiap detik ada inovasi baru dalam teknologi modern di jepang. Namun disisi lain, banyak kritik terhadap pola pendidikan semacam itu yang justru meniscayakan humanism dalam pendidikan, walaupun dalam beberapa tahun terakhir pemerintah jepan sudah mulai berbenah diri dengan kebijakan-kebijakan baru dalam pendidikan.
Hal penting yang bisa diambil dari pengalaman jepang adalah pendidikan yang progress dalam kemajuan teknologi cenderung mengurangi nilai humanistic dalam pendidikan. Tidak salah memang jika jepang dan negara maju lainnya yang cenderung menjadikan pendidikan sebagai alat kemajuan bangsa, tetapi pendidikan adalah interaksi antara manusia dengan sesamanya.
Dalam perspektif global, masalah pendidikan menjadi salah satu masalah utama setiap bangsa. Penddikan juga menjadi semacam alat menguasai bangsa lain. Jika diteliti dengan seksama, setiap bangsa meniliki karakter yang berbeda dalam pendidikannya. Bangsa yang maju cenderung mapan dalam system pendidikannya. Ada satu kecenderungan ddalam interaksi global dimana negara maju memaksakan karakter pendidikannya sebagai cara halus untuk menanamkan ideologinya. Negara denggan status negara ketiga menjadi ssaran empuk proyek penjajahan modern ini.
Ditengah hiruk pikuk pergerakan bangsa, Indonesia berada pada posisi transformasi menjadi negara maju dan modern. Hal penting yang perlu mendapat sorotan, sekali lagi adalah dunia pendidikan. Jika ideology bangsa ini kuat diinternalisasikan dalam pendidikan, maka ada semacam buffer untuk membendung pengaruh ideology negara lain. Sekali lagi, pendidikan bisa menjadi ajang pertarungan ideology antar negara maju dan menjadi ladang perebutan ideology di negara kelas dua dan tiga.
Kekuatan ideology bangsa dalam pendidikan sekali lagi kita bisa berkaca pada jepang. Kemajuan teknolgi di masyarakat tidak serta merta meninggalkan ideolgi bangsa yang sejak dahulu menjadi karakter mereka. Begitupun dengan negara maju lainnya, ada satu kecenderungan untuk kuat mempertahankan ideology bangsanya dalam kancah pendidikannya. Melihat fenomena soasial di negri ini, ada kekhawatiran terhadap kemampuan bangsa Indonesia dalam mempertahankan ideologinya di tegah-tengah komunitas negara maju dan modern. Mengapa kita tidak mampu (mau) meniru jepang yang tetap eksis ditengah negara maju dengan ideology ‘kolot” nya. Barangkali kita memiliki semacam rasa “malu” untuk mempertahankan ideology masa lalu.
Lihat saja dalam system pendidikan nasional saat ini. Hamir pasti nilai pendidikan ke indonesiaan tergusur oleh nila-nilai pendidikan asing, terutama barat. Karena itu tidak salah jika persoalan social di negri ini hampir pasti babak baru dari persoalan social negara-negara barat di masa lalu.
MENEMUKAN AKAR FALSAFAH PENDIDIKAN NASIONAL YANG DI UJUNG TANDUK
            Apakah benar kita telah semakin menjauh dari pondasi bangunan kokohnya Negara dan bangsa kita? Apakah kita terlalu sibuk dalam belajarguna mengejar harapan yang ternyata di dorog oleh egoisitas dan kepentingan individual untuk mendapatkan sebuah klaim mkenjadi Negara yang maju,modern sesuai ukuran dan porsi dunia internasional?
            Bila memang iya maka perlu jawaban yang konkrit ats semua itu, bila kita sewbagai bangsa yang besar dan menghargai sejarah dan pahlawan maka kita tentuynya tidak melupakan amanat para pendahulu kita yang memperjuangkan bangsa ini, apa lagi kita meninggalkanya.
Cerminan kondisi mundurnya moralitas anak didik yang semakin parah ini di tengarai berbagai macam persoalan yang pada intinya tersebut di ats yang bersumber dari arus besar Globalisasi, coba saja kita melihat realitas anak didik yang secara trend sudah mengkiblat pada kebudayaan luar, mulai dari model bahasa,style dan etika tida lagi mencerminkan kebudayaanya,apa lagi di Tanya siapa gambar pahlawan yang berada di uang lembaran lima puluh ribuan rupiah  kita? Banyak di antara mereka yang lupa atau mungkin tidak tahu, meskipun seringkali mereka memegangnya, yang ada gambar-gambar itu hanya kan menjadi sibolisasi saja yang kurang di perhatikan, malah sebaliknya, nalar materialistic untuk berlomba mendapatkan lembaran itu di sadari oleh rel yang mampu mengantarkan mendapatkanya yaitu kita sebut dengan Rel pendidikan yang menjanjikan mempermudah mendapatkanya dengan gelar yang di sandangnya dari jalur pendidikan yang tinggi. Benar adanya dan tidak salah, tanpa pendidikan semua sulit di raih, akan tyetapi perlu di kritisi dan di fikirkan ulang, bahwa tujuan ahir pendidikan bukan mengejar materi, akan tetapi pendidikan adalh pembangunan jasmani dan rohani, kognisi,afeksi dan mental, seperti yang di ungkapkan Ki Hajar Dewantara , Pendidikan harus di titik beratkan pada jati diri manusia sendiri dan penilaian keberhasilan terhadap pendidikannya bukan dari dari konsep atau hasil yang telah dicapai, tetapi keberhasilan pengembangan jati diri dan sampai di mana dia berhasil menguasai hasil jerih payahnya bukan hasil jerih payahnya yang menguasai manusia itu sendiri.nah itulah tugas para guru yang  hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Tidak hanya saja hari ini kita lebih mengenalnya dengan bahasa ,sebutan Guru professional, yang ahli, dan cerdas di bidangnya, bukan maksud menyinggung, akan tetapi kita mencoba menkaji dan merasakan dari hati kehati meskipun itu hanya sekedar bahasa sebutan. Akan tetapi lebih penting dari itu adalah menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !”
Akar Pondasi sebuah bangsa tentunya harus di ilhami oleh setiap warga Negara yaitu Pancasila yang dikatakan sebagai filsafah hidup bangsa karena menurut Muhammad Noor Syam (1983: 346), nilai-nilai dasar dalam sosio budaya Indonesia hidup dan berkembang sejak awal peradabannya, yang meliputi:
1.      Kesadaran ketuhanan dan kesadaran keagamaan secara sederhana.
2.      Kesadaran kekeluargaan, di mana cinta dan keluarga sebagai dasar dan kodrat terbentuknya masyarakat dan sinambungnya generasi.
3.      Kesadaran musyaawarah mufakat dalam menetapkan kehendak bersama.
4.      Kesadaran gotong royong, tolong-menolong.
5.      Kesadaran tenggang rasa, atau tepo seliro, sebagai semangat kekeluargaan dan kebersamaan, hormat demi keutuhan, kerukunan dan kekeluargaan dalam kebersamaan.
Itulah yang termaktub dalam Pancasila dengan 36 butir-butirnya. Dengan begitu, pada dasarnya masyarakat Indonesia telah melaksanakan Pancasila, walaupun sifatnya masih merupakan kebudayaan. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut sudah berababd lamanya mengakar pada kehidupan bangsa Indonesia, karena itu Pancasila dijadikan sebagai falsafah hidup bangsa. Jika pendidikan suatu bangsa akan secara otomatis mengikuti ideologi bangsa yang dianut, karenanya sistem pendidikan nasional Indonesia dijiwai, didasari dan mencerminkan identitas Pancasila. Sementara cita dan karsa bangsa kita, tujuan nasional dan hasrat luhur rakyat Indonesia, tersimpul dalam pembukaan UUD 1945 sebagai perwujudan jiwa dan nilai Pancasila. Cita dan karsa itu dilembagakan dalam sistem pendidikan nasional yang bertumpu dan dijiwai oleh suatu keyakinan, dan pandangan hidup Pancasila. Inilah alasan mengapa filsafat pendidikan Pancasila merupakan tuntutan nasional, sedangkan filsafat pendidikan Pancasila adalah subsistem dari sistem negara Pancasila. Dengan kata lain, sistem negara Pancasila wajar tercermin dan dilaksanakan di dalam berbagai subsistem kehidupan bangsa dan masyarakat.
Dengan demikian, jelaslah tidak mungkin Sistem Pendidikan Nasional dijiwai dan didasari oleh sistem filsafat pendidikan yang selain Pancasila. Hal ini tercermin dalam tujuan Pendidikan Nasional yang termuat dalam UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni: pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan, kesehatan jasmani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab kemasyarakatan.

 daftar pustaka : di ambil dari berbagai sumber....

PERGURUAN TINGGI ISLAM SEBAGAI PENYELESEIAN  PERSOALAN MENURUNYA MORALITAS DAN MENGARAHKAN TUJUAN  PENDIDIKAN. 


mmm.....to be continued.....bro..!!!

Template by:

Free Blog Templates