Rabu, 19 September 2012

Membongkar Dikotomi Pendidikan

Membongkar Dikotomi Pendidikan
Oleh: Fathurroby a.f)

Dalam Peperangan, ilmu menyebabkan kita saling meracun dan saling menjegal.Dalam perdamaian ,dia membikin hidup kita dikejar waktu dan penuh tak tentu….Mengapa ilmu yang amat indah ini ,yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sangat sedikit sekali kepada kita” (Albert Einstain)

Pengetahuan dari masanya selalu mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan pola pikir manusia lewat proses dialektika panjang. Tak luput manusia secara tidak langsung terus mencoba memahami dan mengetahui segala sesuatu yang kemudian menghasilkan karya baru yakni pengetahuan. Proses inilah yang kemudian disebut “pendidikan” yaitu satu media manusia memahami, mengetahui suatu hal dan menyadarkan dirinya atas realitas sekitarnya yang sebelumnya belum diketahui. Sebuah kebutuhan mendasar manusia menyadari posisinya sebagai mahluk berakal dan membebaskan dirinya dari kebodohan.
Pada kenyataanya pendidikan hampir pasti menempati posisi terhormat dalam masyarakat, sebagai elemen mendasar yang mengantarkan menuju perubahan dan kemajuan. Pendidikan tidak hanya memiliki nilai Paedagogis, akan tetapi nilai sosial budaya. Sehingga dalam masyarakat, orang yang menempuh jenjang pendidikan yang tinggi akan memiliki nilai sosial yang tinggi pula dibanding dengan orang yang tidak mengenyam jenjang pendidikan sama sekali. Pada posisi seperti ini maka pendidikan mempunyai fungsi ganda, yakni fungsi strategis dan fungsi kritis. Pada posisi strategis, pendidikan mempunyai kekuatan yang sangat dahsyat dalam lingkup sosial yang mampu mengarahkan dan menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup dan memberikan pengarahan terhadap anak didik pada sebuah jenjang kehidupan ke depanya dan mempersiapkan kebutuhan esensial diri terhadap bentuk-bentuk perubahan. Sosiolog Emile Durkheim mengatakan bahwa pendidikan memegang kendali penting dalam mempertahankan kelanggengan kehidupan sosial kemasyarakatan (konsisten/ istiqomah) dalam menghadapi perubahan.
Sedangkan fungsi kritis dalam pendidikan dititik beratkan pada langkah adaptif dan adoptif. Adaptif adalah sifat yang dikembangkan dalam pendidikan untuk senatiasa mempertimbangkan sebuah kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Sebagai proses penyesuaian tak lain pendidikan sebagai urgenisitas kehidupan yang menjadi acuan untuk selalu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Ketika pendidikan tidak mempunyai daya tawar yang jelas maka akan ditinggalkan masyarakat karena riil pendidikan dipandang masyarakat sebagai jalan menuju perubahan kehidupan, baik secara materi maupun finansisal. Sedang Adoptif adalah kesediaan pendidikan menerima pembaharuan dan perubahan menuju arah yang lebih baik. (Tobroni dan Samsul Arifin;1994). Dalam posisi ini pendidikan sangat berperan penting di segala lini kehidupan yang mampu menciptakan nuansa-nuansa dalam kehidupan bermasyarakat. Secara riil, karakter kemanusiaan akan ikut terbentuk kuat dalam pendidikan pendidikan. Sehingga muncul daya kritis responsif yang nantiya mampu memahami bentuk dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, antara baik dan buruknya dan bagaimana menanggapinya. Selain itu pendidikan bersifat fleksibel terhadap perubahan dalam merubah sebuah lingkungan.
Banyak pemaknaan tentang pendidikan karena pada dasarnya pendidikan merupakan sebuah pengalaman kehidupan seseorang. Menurut Dr.J. Sudarminta pakar pendidikan Sanata Darma Yogyakarta, [1990] Pendidikan adalah sebagai sadar ilmu yang dilakukan pendidik melalui bimbingan, pengajaran dan latihan untuk membantu anak didik mengalami proses pemanusiaan diri ke arah tercapainya pribadi yang dewasa dan susila. Menurut Brucher pendidikan adalah proses timbal balik dari tiap pribadi manusia dalam penyesuaianya dirinya dengan alam dan dengan semesta (M.Noor Syaam; 1981). Sehingga pendidikan paling tidak harus mengandung empat unsur, yaitu; sebagai kegiatan, proses, produk/hasil dan juga sebagai ilmu. Dari keempat definisi tersebut kalaupun kita mencoba melihatnya secara kritis disitulah akan diketemukan kelemahan dan kekurangan pendidikan kita hari ini.
Pendidikan sebagai kegiatan, adalah sebuah aktifitas belajar mengajar siswa dan pendidik dalam rangka mempelajari sebuah ilmu pengetahuan, sebagi Proses; pendidikan adalah sebuah jalan yang di dalamnya ada t`hapan-tahapan yang dilalui secara sistematis (jenjang akademis). Sebagai Produk; pendidikan merupakan hasil dari sebuah perubahan pengetahuan seorang anak didik sehingga mencapai apa yang diharapkan. Sedangkan pendidikan sebagai sebagi ilmu; pendidikan yang merupakan bentuk dari berbagai ilmu yang dipelajari anak didik dan secara perkembanganya berubah sesuai dengan kondisi menurut sejauh pemikiran manusia.

Imperialisme dan Dikotomi Pendidikan
Namun dalam kenyataan yang ada, pendidikan masih jauh dari hakikat eksistensinya yaitu sebagai proses memanusiakan manusia (humanisme human). Bahkan banyak yang menilai pendidikan kita dilanda krisis, salah satunya krisis moral yang diakibatkan oleh adanya pendikotomian keilmuan dalam pendidikan kita selama ini yaitu antara ilmu agama dan ilmu umum. Sehingga disitu kemudian ada pendiskriminasian keilmuan yang sebenarnya saling melengkapi satu sama lain yang secara sistempun kita mengenyam hasil pendikotomian ini. Secara institusi ini dapat dilihat dengan adanya pendidikan formal dan non formal. Dalam nalar setiap orang ini dianggap sebagai satu sistem yang wajar dan normal dan diterima apa adanya. Padahal disinilah tengah terjadi penjinakan secara halus bahwa orang harus mau tidak mau memprioritaskan pendidikan formal tidak yang lain. Sehingga pemformalan atas ijazahpun berlaku yang itu menimbulkan kecemburuan sosial yang tinggi. Ambil contoh, para santri pondok pesantren yang sampai hari ini outputnya secara formal tidak diakui dalam masyarakat hanya gara-gara mereka tidak menenteng selembar ijasah yang dibubuhi stempel Depag atau Depdiknas.
Ironis sekali, pendidikan yang tidak mampu menghargai sebuah keilmuan. Asumsi pendidikan formal adalah satu-satunya jalan mendapatkan kesuksesan hidup. Realitas pemformalan ini akan merambah terus ke dalam keadaan yang dinamakan “komersialiasi pendidkan,’’ yaitu sebuah kondisi pendidikan yang hanya menciptakan robot-robot bernyawa guna menutupi kebutuhan pabrik-pabrik akan tenaga kerja. Pertanyaannya kemudian adalah, siapa yang memasukkan kita sekalian ke “kandang” yang disebut sekolah ini? Depag, Depdiknas, juragan pabrik? ataukah memang kita sejak kecil mempersiapkan diri untuk masuk kandang itu?. Barang siapa mampu memasukan seorang anak dalam sekolah, dia yang memiliki itu (Abdurahman Wahid,dalam Freire;1985). Tidak bisa kita pungkiri pendikotomian ini merupakan warisan sejarah bangsa ini yang diciptakan Belanda waktu itu untuk melanggengkam kekuasaamya, menurut Gramsci, suatu yang mudah untuk dijadikan alat hegemoni dalam kehidupan manusia adalah pendidikan dan agama karena keduanya sebuah kekuatan yang sangat besar ketika digabungkan yang mana waktu itu pendidikan agama yang berbasis di pesantren merupakan salah satu musuh utama. Maka kemudian Belanda pun memunculkan konsep sistem sekolah impor barat dalam bentuk paket “ethische politiek” atau biasa yang disebut Politik etis (politik balas budi).
Dikirimnya beberapa anak pribumi untuk melaksanakan proses pendidikan di luar negeri (Eropa) pada dasarnya ini membawa misi besar penyebaran idologi besar dunia (paradigma posivistik) yang nantinya dibawa para anak didik itu, yaitu sistem westernisasi (pembaratan) yang liberal. Dengan corak humanismenya, di mana kolonialisme memberikan pendidikan kepada negara jajahanya yang mana menyelinap di dalamnya satu agenda penjajahan pemikiran lewat orang-orang terdidik tersebut. Ini bisa dilihat bahwa kenyataanya politik etis hanya diprioritaskan pada kelompok elit pribumi, yaitu para bangsawan. Sehingga waktu itu selain ada golongan priyayi karena keturunan para penguasa, muncul juga golongan baru hasil politik etis yakni priyayi profesional, output pendidikan yang berposisi sebagai pejabat-pejabat Hindia Belanda.
Model pendidikan barupun terlahir di Indonesia. Dengan klaim “ortodok” kuno dan tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, sistem pendidikan formal dan elitis menggeser institusi pendidikan yang sudah ada sebelumnya. Pendidikan kultur kerakyatan yaitu pesantren ataupun madrasah diniyah yang berlandaskan pada tradisi kultur sedikit demi sedikait tergeser dan terkikis. Walaupun Belanda sudah hengkang dari Indonesia namun ternyata mereka masih meninggalkan satu mainstream berpikir yakni paradigma postivistik. Sampai waktu itu muncul kebijakan yang dimunculkan Moh Hatta bahwa syarat untuk menjadi abdi negara harus berijazahkan formal (berlatarbelakang pendidikan formal). Akibat kebijakan ini banyak para pejuang nasional yang notabenenya berlatar belakang pendidikan nonformal --seperti madrasah dan pesantren-- terpaksa tersingkir. Mulai dari tokoh politik, militer lokal sampai nasional. Padahal tidak dipungkiri lagi jasa-jasa mereka bagi kemerdekaan bangsa ini.
Dari sinilah, keberhasilan kolonialis menciptakan model baru penjajahan dalam bentuk yang lebih halus dan memikat yaitu pendidikan formal seperti apa yang kita kenyam selama ini. Akibatnya, --bila di era kebangkitan dulu lahir perguruan-perguruan swasta militan (misalnya Taman Siswa, dan Muhammadiyah)-- di masa pembangunan Orba semua itu telah digeser oleh sekolah-sekolah ataau perguruan tinggi yang kapitalistik sejalan dengan ideologi pembangunanisme.
Pendidikanpun cenderung kehilangan nilai-nilai formatifnya, yakni perananya sebagai lembaga pendidikan pengemban nilai-nilai kemanusiaan dan pembentuk karakter kebajikan yang universal. Sekarang pendidikan cenderung berperan sebagai lembaga pelatihan yang linked dan matched berorientasi pasar kerja semata. Dengan penonjolan pola pemikiran ala barat semata yang menghasilkan para sarjana-sarjana pandai, cerdas namun pada wilayah moral terjadi proses dekadensi yang redemikian parahnya. Inilah yang nantinya melahirkan nalar-nalar komprador, kolonialis baru di negara sendiri.
Ini dapat dilihat secara nyata dalam sisitem kemasyarakatakan, karena pendidikan hanya menekankan pada aspek pemenuhan kebutuhan lapangan pekerjaan --dalam hal ini pemenuhan pekerjaan gaya kapitalis yang elitis, padahal lapangan pekerjaan yang ada sangatlah sempit-- mengakibatkan setiap peluang yang ada akan ditempuh guna merebut jatah kursi kerja. Di sisi lain, pendidikan tidak memberikan pendidikan moral sebagai ancangan kepantasan manusia dalam bertindak dan berbuat. Disinilah kemudian nalar-nalar korup terbangun dan membudidaya dalam setiap segi kehidupan.
Walhasil, pendidikan lambat laun menjauhkan manusia dari realitasnya. Ketika kultur kita sebagai negara agraris ternyata pendidikan malah menghasilkan para sarjana yang malu dengan kulturnya dan lebih memilih menjadi antek para pengusaha besar. Terlihat bahwa ternyata paradigma pendidikan Indonesia selama ini sangatlah kapitalistik, yang mana ini merupakan hasil dari kolonialisasi bangsa barat dalam menanamkan idiologinya. Tidak ada dalam kamus cita-cita anak Indonesia yang berkeinginan menjadi petani sukses dan mampu mendayagunakan sawah bapak-bapaknya, mereka lebih memilih dan terhipnotis untuk menjadi direktur perusahaan, insinyur, dsb. Sistem pendikotomian pendidikan ini akhirnya secara fatal menghasilkan sebuah pendidikan yang cacat moral. Terbukti, birokrasi pemerintahan dipenuhi para sarjana-sarjana, doctor yang pandainya tetapi juga sebanding dengan pandainya memakan harta rakyat.
Padahal Pendidikan adalah pembentuk karakter bangsa, karena adanya imbal balik antara pendidikan dan masyarakat. Dunia pendidikan adalah cerminan atas apa yang terjadi di masyarakat. Sehingga perilaku kehidupan bangsa ini dapat dilihat dari bidang pendidikan yang tiap tahunya meloloskan ribuan sarjana yang siap nganggur, mencuri dan menindas rakyat.

DIKOTOMI RASIO DAN RASA
Secara hakiki, pendidikan merupakan proses sepanjang hayat tiap indovidu dalam rangka menjalani dan memenuhai kebutuhan mendasar sebagai manusia. Namun realitas akan berkata lain ketika pendidikan hanya digunakan sebagai senjata penindasan guna memperoleh tujuan segelintir individu atau kelompok tanpa dilandasi batasan moral yang jelas. Artinya seringkali manusia ketika mencapai proses rasionalitas tidak menghiraukan pertimbangan-pertimbangan moral. DIsinilah kemudian akan memicu ketidakharmonisan antara realitas dan subjek kehidupan. Akan muncul seseorang yang tidak jujur, tidak adil dan tidak bertanggung jawab serta tidak sadar dengan realitas sekelilingnya.
Ini bisa dilihat dari berbagai kasus kejadian besar dunia ini. Ketika pengetahuan tidak dilambari batasan ‘kepantasan’ maka yang terjadi adalah hancurnya batas-batas kemanusiaan. Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi hari ini berkembang pesat sehingga manusiapun tercengang melihat hasilnya sendiri, seperti bom atom yang pernah teruji kedahsyatanya di perang dunia II yang telah menghentikan perang di dunia, akan tetapi IPTEK telah menghanguskan ribuan jiwa manusia. Memang penemuan-penemuan teknologi dapat membawakan membantu dan menciptakan kebahagiaan, namun tidak dapat dipungkiri teknologi pula yang membawa malapetaka dan mengancam kehidupan umat manusia. Insektisida, obat-obatan, senjata kimia. Penemuan kontrasepsi juga dicurigai sebagai salah satu faktor penting dalam menumbuhsuburkan dekadensi moral.
Sehingga proses pendidikan yang membentuk nalar dikotomik antara rasio (kognisi/IQ) dengan rasa (afeksi/kepribadian) dalam beberapa dekade terahir mengundang kritik dari beberapa tokoh. Goleman misalnya, menyatakan bahwa kemampuan menahan diri (nafsu) sebagai inti kecerdasan emosional (EQ) lebih penting dari pada IQ. Seperti dalam risetnya ditegaskan bahwa EQ dapat sama ampuhnya dengan IQ, dan terkadang lebih ampuh dari pada IQ. Ini dibuktikan lagi dengan penelitianya tentang otak dan perilaku. Ia memperlihatkan faktor-faktor yang terkait dengan mengapa orang yang mempunyai kemampuan IQ tinggi gagal dan orang yang ber-IQ sedang-sedang saja ternyata sukses. Faktor-faktor ini mengacu pada suatu cara lain untuk menjadi cerdas yang disebutnya dengan “kecerdasan emosi” (EQ). Temuan mengenai EQ ini oleh Daniel Goleman menegaskan bahwa ukuran kecerdasan seseorang tidak hanya bergantung kepada IQ semata (Daniel Goleman 1999).
Fenomena di atas tak begitu saja berakhir tanpa meninggalkan polemik di kemudian hari, akan tetapi kemudian muncul lagi yang namanya pemikiran filosofis tentang kecerdasan spiritual (SQ), yaitu mengenai kemampuan hati hati nurani yang lebih penting dari semua kecerdasan, sehingga SQ dan IQ menjadi dasar seseorang dalam berperilaku dalam kehidupan dan mencapai kesuksesan kehidupan sejati, kenyataan terjadi ketika manusia berkemampuan IQ yang tinggi gagal dalam mengatur kehidupanya dan berperilaku tidak manusiawi, karena tidak adanya kemampuan dalam dirinya IQ dan SQ yang yang tinggi pula, hal ini disebabkan karena apa yang disuarakan oleh SQ adalah suara hati. Kebenaran sejati (conscience) SQ yang mampu menyingkapkan kebenaran sejati lebih tersembunyai (hidden truth) dalam kehidupan keseharian (Danah Zohar dan Lan Marshal :2001)
Tak pelak, setiap perilaku kemanusiaan yang selalu amoral dan individualis akan menjebak manusia dengan kehidupan yang menyengsarakan. Sehingga yang terpenting dalam pendidikan kita diperlukan adalah internalisasi nalar spiritual atau proses spiritualisasi. Hal ini penting karena selama ini dalam praktek pendidikan kita terjadi dikotomisasi dengan memberikan pemisahan akan kepentingan anak didik. Integrasi nalar spiritual ini dilandaskan atas tiga kerangka ilmu epistimologis, yakni dasar filsafat, tujuan nilai dan orientasi pendidikan. Pertama; Dasar filsafat merupakan landasan filsafat yang berdasarkan landasan pada filsafat teosentris. Sehingga ini menjadi dasar rasionalitas untuk mengikis dikotomi dan sekularisasi pendidikan yang ada dalam sistem pendidikan kita hari ini (Abdul Munir Mulhan:1993). Kedua; tujuan pendidikan. Jika tujuan pendidikan sekuler untuk membangun kehidupan duniawi, seperti sukses, sejahtera, makmur, adil ,dst maka spiritualisasi pendidikan untuk membangun nalar wujud pengabdian terhadap Tuhan YME dan ini bukan final akan tetapi salah satu jalan menuju gerbang akhir kehidupan manusia spiritual yang kekal dan abadi sepanjang perjalanan kehidupan manusia. Sehingga yang kemudian akan membangun nalar anak didik lebih spiritualis dan tidak semata-mata materialis. Ketiga: Nilai dan orientasi pendidikan. Jika pendidikan didasarkan pada nilai dan orientasi pengembangan Iptek sebagai nilai dan orientasi ilmu, maka spiritualisasi pendidikan juga mengembangkan Iptek dengan segi penambahan iman dan takwa sebagai ruh dari proses pengembangan nalar spiritual atau spiritualisasi itu sendiri (Abdul Munir Mulhan; 2002).
Dan ketika hari ini STAIN sebagai salah satu lembaga pendidikan di mana di dalamnya memiliki concern optimalisasi nalar spiritual dan kemanusiaan dalam kerangka membentuk insan-insan yang intelek dan agamis dan berwawasan luas, dituntut sesegera mungkin untuk bangkit membuktikan hasilnya secara praksis sehingga terwujud yang namanya tokoh-tokoh intelektual yang humanis yang mampu memperjuangkan hak-hak umatnya. Selain itu, kemampuan menjawab persoalan pendikotomian nalar keilmuan yang imbasnya melahirkan generasi-generasi bangsa yang kering nilai spiritual. Tugas berat bagi seluruh bangsa ini untuk mengatasinya dan mengintegrasikan perbedaan-perbedaan yang seharusnya menjadi satu.
Akan tetapi hal tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah semudah membalikkan tangan. Kenyataannya, STAIN, IAIN dan UIN hanyalah menyatukan hal-hal yang terdikotomikan tadi (rasio dan rasa) yang sebatas penggabungan secara simbolik. Tidak ada epistimologi keilmuan yang jelas untuk menopang cita-cita besar diatas. Tak bisa dihindari, bangunan keilmnuan yang ada kemudian hanyalah pendidikan Islam cita rasa barat yang tak jelas orientasi, visi dan misinya. Tidaknya semakin jelas, malah semakin mengkaburkan beberapa unsur-unsur di atas yang pada akhirnya menciptakan pengetahuan yang asal-asalan atau dalam bahasa jawa disebut “gothak gathuk asal mathuk”.


Di tulis /di terbitkan di majalah dimensi stai tulungagung pada tahun 2008

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates