“Sesunguhnya laki–laki dan perempauan yang muslim ,
laki-laki dan perempuan yang sabar. Laki- laki dan perempuan yang khusyu’,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya , laki-laki dan perempuan
yang banyak menyebut (nama) Allah ,Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan
dan pahala yang besar”(Q.s.An-Nisaa’:32)
Santriwati dan feminisme pesantren
Santriwati
merupakan sebutan / panggilan yang di sandangkan bagi kaum perempuan yang
belajar dan mencari keilmuan di pesantren, namun pengertianya sama dengan
pemaknaan santri secara umum, ada istilah santri, santriwan atau kang santri
sebutan bagi murid atau siswa pesantren laki-laki, dan santri wati bagi perempuan, atau ada istilah lain sebutan nyai bagi istri kiai dan gus bagi putra kiai dan ning bagi putrid
seorang kiai.
Dari sebutan tersebut muncul bias gender pada persepsi santri wati
sebagai kaum hawa ataupun perempuan di pesantren yang ruang geraknya agak
terbatasi oleh hokum tradisi pesantren di banding santri
laki-laki. Hal ini secara nyata di tunjukan dalam kehidupan sehari-hari pesantren yaitu
kehususan bagi santriwati dalam kaitanya kebebasan tanda kutip.
Apa
yang sebenarnya terjadi sehingga perempuan di pesantren mendapatkan perlakuan
husus, soal kebebasan terutama dalam ruang geraknya cukup di batasi, dengan
norma dan hokum pesantren, yang muncul ahirnya opini perempuan di pesantren
mengalami ketidak adilan,. Dan Secara umum, masyarakat memandang bahwa status santri bagi
perempuan sama halnya ‘memenjarakan diri’. Kreativitas mereka terpangkas.
Perempuan pesantren bakal kehilangan kebebasan beraktualisasi diri. Mereka
selalu dihadapkan pada ragam peraturan pesantren yang cukup membelenggu. Mereka
hidup tiada berdaya. Pemberdayaan perempuan pesantren lebih bertendensi pada
pengembangan intelektualitas dan relijiusitas. Sedangkan kecerdasan
emosionalitas-nya tidak terasah sebab dibangun jarak dengan realitas hidup
bebas. Kemudian
juga muncul wacana penjara suci, sebuah konotasi bagi lembaga pesantren yang
mengekang santrinya dari dunia luar, terutama bagi perempuan yang mendapatkan
tempat khusus yang lebih ketat dari penjara yang sebenarnya. Wacana atau asumsi
ini sudah umum berkembang di massyarakat, sehingga pesantren seakan benar-benar
sebagai penjara yang sesungguhnya dalam memperlakukan santrinya, akibatnya minat generasi muda untuk memasuki pesantren
menurun, terutama kaum perempuan.
Konotasi lain yang lebih menakutkan
lagi bahwa pesantren banyak di huni oleh beberapa orang bermasalah, seolah
pesantren sebagai tempat pembuangan yang lebih keras dari pada penjara, yaitu
nusa kambangan, karena banyak di antara santri dating ke pesantren oleh karena
persoalan yang tidak mampu terseleseikan di keluarga dan masyarakat, para
santri yang di pesantren sebagian hadir krena keterpaksaan yang di akibatkan
perlakuan masyarakat yang menolak atas keberadaanya, karena kecacatan moral
yang di lakukan calon santri tersebut, semisal anak muda ataupun seseorang yang
melakukan tindakan yang amoral ataupun kejahatan di masyarakat, karena keluarga
ataupun masyarakat tak mampu menyeleseikanya, di tambah lagi ketika berkaitan
dengan anak didik yang masih berada di tingkat pelajar,dengan kebijakan yang
mengecewakan ia harus di keluarkan dari sekolahanya, karena di anggap sebagai
pencoreng nama baik sekolahanya. Ketidak
adilan ini terus berlanjut samapi hari ini, dan ketika hal tersebut memang
nyata, maka tiada harapan lagi bagi perbaikan moral generasi saat ini, karena
keputusan fatal telah di ambil baginya dan pupuslah harapanya.
Dan
di sinilah pesantren dengan terbuka dan legawa menerima calon santri tersebut
untuk di asuh dan di diknya, coba kita
bayangkan apa bila pesantren bersikap sama dengan lembaga pendidikan umum
lainya, pertanggung jawaban pendidikan dan hak pendidikan bagi warga yang
mengalami nasib sedemikian rupa tentulah pupus, dan berahir dengan sebutan
kasar sampah masyarakat.
Apa
yang melatar belakangi pesantren selalu terbuka bagi persoalan masyarakat,
sehingga pesantren yang yang notabene sebagai lembaga keagamaan yang suci bisa
meneriam hal demikian? Nah apakah pesantren akan memperlakukan perempuan yang
ada di dalamnya dengan tidak adil? Sedang untuk membiarkan anak didik yang di
anggap sampah masyarakatpun masih bisa dengan legawa dan penuh kasih.
Dari
tujuan juga posisi pesantren yang di ungkapkan di bab sebelumnya sudah jelas
bahwa pesantren merepukan institusi penmdidikan yang berbaur dengan masyarakat
yang berkebudayaan, sehingga tanpa adanya batas hubungan pesantren dan
masyarakat dalam masalah pendidikan dan bertanggung jawab untuk pembenahan
moral di masyarakat, sehingga apapun yang menjadi persoalan masyarakat dengan
sebaik mungkin pesantren menerima dan menyeleseikanya.
Lantas
dasar apa sehingga perempuan di pesantren mendapatkan perlakuan khusus ? Ketika
sisi lain di dalam pesantren seringkali dituding sebagai biang ketertindasan,
ketidakadilan dan berbagai ketidaksetaraan dalam hubungannya antara laki-laki
dan perempuan. Kritik tajam tersebut di tengarahi oleh hokum fiqih yang ada
dengan melihat secara sederhana, di buktikan di pesantren terjadi ke
tidakadilan terhadap perempuan,contohnya , perempuan dilarang menjadi imam
dalam sholat, mengajar santri laki-laki dan tidak pernah ada terjadi perempuan
memimpin sebuah pesantren atau biasa disebut sebagai lurah pondok yang lebih
ironis belum ada perempuan yang diakui sebagai ulama yang mempunyai derajat
untuk membahas yurisprudensi hukum Islam. Berbagai hal tersebut merupakn
berbagai macam kritik yang ditujukan kepada pesantren sebagai lembaga
pendidikan yang bernuansa patriarkhi.
Begitu
banya persoalan bila memunculkan diskusi mengenai feminisme perempuan di pesantren,
tudingan-tudingan yang telah muncul tersebut menjadi persoalan yang sangat
penting untuk di jawab pesantren, kaitanya pengembangan potensi santri yang
tidak di mungkin di bedakan dalam mentransfer keilmuan, Lebih dari itu, kita semua melihat bahwa kehidupan
masyarakat manusia sedang menuju pada tuntutan-tuntutan demokratisasi,
keadilan, dan penegakan hak-hak asasi manusia. Semua tema mi meniscayakan
adanya kesetaraan manusia. Dan semua ini merupakan nilai-nilai yang tetap
diinginkan oleh kebudayaan manusia di segala tempat dan zaman. Tuhan juga tentu
menghendaki semua nilai mi terwujud dalam kebudayaan manusia. Oleh sebab itu,
nilai-nilai tersebut seharusnya menjadi landasan bagi semua kepentingan
wacana-wacana kebudayaan, ekonomi, hukum dan politik. Dengan begitu, diharapkan
nantinya dalam wacana-wacana ini tidak akan lagi ada pernyataan-pernyataan yang
memberi peluang bagi terciptanya sistem kehidupan yang diskriminatif,
subordinatif, memarjinalkan manusia, siapa pun orangnya dan apa pun jenis kelaminnya,
laki-laki atau perempuan. Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan
rupa kamu, tetapi melihat hati dan amal perbuatan kamu.” HR Muslim’
Sebab, yang paling utama di antara manusia adalah
tingkat ketakwaannya kepada-Nya.
“Sesunggulmya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.”
QS al-Hujurat 13.
Dari ayat ini telah jelas-jelahs di fahami bagi
kaum pesantren, dan di aktualisasikan dalam kehidupan pesantren, karena pada
kenyataanya kedudukan insane-insan di pesantren tiada berbeda selain pangkat
duniawi yang sementara di sandang,dan kemuliaan di sisi alloh adalah insane
yang bertaqwa,dan beriman .
Merapatnya wacana
gender ke pesantren
Hal yang sangat
menarik ketika wacana kesetaraan
gender mampu merapat yang kemudian menembus dinding tebal pesantren yang di
bentengi oleh kekuatan besar dari tradisi yang di perkuat oleh nuansa keilmuan
klasik yang selama ini sangat kuat mengakar sehingga menjadikan pesantren kokh
dan konsisten dalam kemurnian kajian keilmuanya dengan sebutan salafi, kekuatan
salafi inil di perkuat oleh kharismatik kiai yang berada di garda depan sebagai
penopang kekuatan luar yang akan mermasukinya, hingga arus apapun yang akan
mampir ke pesantren harus berhadapan dengan sang kiai, sebagai penentu atas di
terimanya hal baru ke pesantren. Sungguh hal yang tak terduga ahirnya sebuah
gerakan yang lahir di barat ahirnya bisa sampai dan mampir ke dalamnya, sebuah
gerakan yang di sebut feminism yang mengusung gerakan penyetaraan antara
laki-laki dan perempuan, hal yang sangat kontras dengan idiologi pesantren yang
di dalamnya adalah hasil asimilasi dua budaya antara
jawa dan islam yang ahirnya mernciptakan kebudayaan baru yang di sebut
pesantren, yang secara tak terduga dua unsure kebudayaan tersebut hamper sama
dalam memandang perempuan, yaitu cara pandang pesantren yang terkesan
menempatkan perempuan ke posisi kedua setelah laki-laki yang semula di anggap sebagai sebuah
kewajaran dan me…………………..ahirnya tidak sengaja tersentuh oleh gerakan tersebut
yang di masukan oleh beberap orang yang menginginkan adanya perubahan ataupun
angin segar bagi perempuan di pesantren aleh beberapa alas an yang juga di
perkuat oleh dalil al-qur’an yang tentu saja di sokong oleh tokoh feminism islam,
tidak semua pesantren menerima hal baru itu, apa lagi membiarkanya masuk dengan
mudah, untuk memasuki pesantren butuh waktu bertahun-tahun dengan sebuah tunggangan
berupa program-program pemberdayaan pesantren yang tidak semuanya bisa mulus
berjalan di pesantren, karena watak penghini pesantren yang memang pada
dasarnya kokoh dan tidak mudah untuk jatuh hati pada hal baru yang datang.
Ahirnya di buktikan “ Di banding seluruh program yang pernah masuk
ke pesantren, tidak ada yang seberhasil program penyadaran keadilan gender ini.
Kehadiran nya membantu penyelesaian problem yang dihadapi kelompok feminis
nonagama dalam menyosialisasikan isu gender. Saat itu penolakan terhadap
kelompok feminis besar sekali, dan kelompok feminis tidak berdaya menghadapi
argumen agama. Program ini juga menolong pemerintahan Abdurrahman Wahid untuk
mengarusutamaan gender. Pada 2000 Wahid mengeluarkan Instruksi Presiden
(Inpres) agar gender menjadi arus utama dalam seluruh rancangan pembangunan
–dari perencanaan sampai pelaksanaan. Jadi minimal ada pedoman dan alokasi
bujet. Perkembangan ini pantas membuat Islam Indonesia dikategorikan sebagai
Islam paling progresif di seluruh negara Islam dalam hal percakapan soal
gender. Ketika negara lain masih menyatakan tabu dengan gagasan ini, kita telah
memamahnya dalam berbagai kajian keagamaan.”
Zaina Anwar, tokoh feminist terkemuka dari
Malaysia dibuat heran dengan pesannya gagasan tentang kesetaraan gender dalam
wacana Islam di Idonesia. Kita tahu ini memang bukan pekerjaan satu dua
orang dan satu dua tahun. Dibutuhkan waktu lebih dari 15 tahun gagasan ini bisa
menyebar di masyarakat meskipun resistensi tetap saja ada. adalah
Ibu Khofifah dan Gus Dur (tahun 2000) yang ikut menentukan
tersebarnya gagasan ini melalui policy Pengarus-Utamaan Gender. Salah satu
elemen yang berperan besar dalam mengembangkan isu gender adalah LSM berbasis
pesantren dan organisasi perempuan keagamaan seperti Fatayat dan
Aisyiyah. peran mereka adalah untuk menghadapi resistensi kelompok agama
terhadap isu gender, atau sebaliknya meyakinkan kelompok feminist sekuler bahwa
dalam agama ada mutiara yang memuliakan perempuan tak melulu menistakannya. Yang
Melibatakan pesantren dan organisasi keagamaan dalam pembangunan tentu saja
juga harus menyebut peran Gus Dur. Namun secara kelembagaan kita juga bisa
mencatat peran Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial
(LP3ES) dengan program pengembangan
masyarakat untuk kelompok Islam terutama pesantren. Mereka percaya bahwa bicara
pembangunan dengan menyertakan akar rumput, pesantren tidak bisa ditinggalkan.
Mengiringi maraknya isu gender di era 80
yang dikembangkan para aktivis pembangunan dari haluan feminis sekuler dan
liberal menghadapi problem resistensi. Pendeknya, bahkan aktivis lelaki yang
getol teriak demokrasi pun ikutan menolak isu gender, minimal curiga.
Pangkalnya karena mereka percaya relasi lelaki perempuan tak mungkin digugat
mengingat domainnya di lingkup keluarga yang diangankan harminis. Ketidak
setaraan merupakan keniscayaan dan tak selalu buruk. Jadi, meski gagasan
kesetaraan gender sebenarnya sama belaka dengan menggugat dominasi dan hegemoni
negara atau kelompok mayoritas, namun ketika diterapkan pada isu relasi gender
gagasan itu mental. Dan basis penolakannay bersandar pada ajaran agama. Lalu sejumlah aktivis perempuan yang mempunyai
latar belakang keagamaan mulai memikirkan untuk masuk ke domain agama dan
gender. Namun di awal tahun 90-an itu tak terlalu mudah mencari landasan
teologis dan referensinya. Pertama, kajian soal gender dan agama masih langka.
Kedua, bendera organisasi yang bekerja untuk isu gender dan feminisme seperti
Kalyanamitra dikenal sebagai organisasi feminist sekuler. Maka cukup masuk akal
jika LSM berbasis pesantren menjadi wahana yang strategis untuk mengembangkan
gagasan soal Islam dan gender. Dalam konteks itu kehadiran P3M memang
relevan.
Di P3M kami mulai dengan kesehatan
reproduksi menggunakan perspektif gender dan Islam. Pilihan tema itu jelas
berkaitan dengan trend intrenasional paska Konferensi Kependudukan di Kairo
tahun 1995. Program penerjemahan karya karya ahli tafsir moderen seperti
karya Rifat Hassan Asghar Ali Engeener serta belakangan Aminah Wadud
benar-benar membantu. Untuk itu peran Wardah Hafidz harus dicatat sebagai
tonggak. Tonggak lainnya, tentu saja telah ditancapkan oleh sejumlah mahasiswa
pasca sarjana UIN/IAIn yang secara khusus studi tentang isu gender dan Islam. Salah
satunya tentu saja karya Dr Nasaruddin Umar.
Dan Sekarang kita telah melihat perubahan
itu. Dan perubahan itu nyata. Misalnya dengan tuntutan quota 30%
perempuan, kepemimpinan perempuan di ruang publik dan isu-isu sejenisnya.
Terlepas dari mutunya, orang mau berdebat soal konsep gender. Dari kyai sampai
hakim agama bicara isu ini. Tapi bukan berarti situasinya lebih baik. Sebab
kita juga bergantung pada kemauan politik pemerintah plus aparatusnya.
Memasukan perspektif keadilan gender dalam kebijakan di Indonesia sebenarnya
akan sangat strategis. Minimal pemerintah bisa sensitif kepada kelompok
minoritas lain yang selama ini dimarginalkan. Sensitifitas itu dapat membantu
untuk memikirkan kelompok minoritas suku, ras, agama, kaum cacat fisik yang
dimarginalkan. Mereka semua, seperti kaum perempuan, selama ini tak dihitung
kepentingannya dan ditimbang cara pandangnya. Tak heran banyak hal menjadi
salah urus dan salah sasaran. Kalau begitu berguna untuk kebaikan negeri ini,
mengapa pula harus takut menerima gagasan untuk bersikap dan berlaku adil pada
perempuan? [1]]
Ulasan di
atas merupakan sebuah kutipan dari penulis yang di ambil dari tulisan Lies
Marcoes Natsir Di sebuaah artikel http://islamlib.com/id/artikel/pesantren-dan-isu-gender,
sekedar menjadi sebuah referensi perjalanan wacana gender yang merapat ke
pesantren berkat dari keseriusan kerja
orang-orang yang mempunyai kesadaran kesetaraan gender. Para tokoh penggerak
itu semisal Kyai Masdar, Lies Marcoes, Bu Sinta Nuriyah, Farcha Ciciek, dan
adanya LSM-LSM seperti P3M, Rahima, Puan Amal Hayati. Mereka bekerja keras
lebih dari sepuluh tahun, hampir lima belas tahun. Dan mereka keluar masuk
pesantren, melakukan halaqah, pelatihan, tadarus, seminar di pesantren. Itu
mempunyai pengaruh yang besar dalam mengubah pola pikir perempuan pesantren. hingga
kemudian apapun pandangan terhadap proses panjang tersubut menuai pro dan
kontra baik di maknai efek yang di timbulkanya atau manfaatnya, dari sini penulis
tidak akan memperpanjang perdebatan persoalan tersebut, , yang past hari ini
wacana gender telah masuk di beberapa pesantren
dan masih di kaji.
Dan pada
hakikatnya pesantren yang selama ini berkembang berpuluh tahun lamanya berdiri
di bumi nusantara ini tentunya mempunya dasar tradisi yang kuat dan kokoh
bagaimana menempatkan perempuan atau santriwati di dalamnya, kendatipun di luar
masih tetap saja memberikan tudingan akan ketidak adilan gendel di dalamnya,
namun sudah pasti pesantren dengan dasr teologi kesantrianya yang akan kami
ungkapkan sebagai jawaban dan pengokahanya berdasarkan kemampuan penulis mengungkap fakta yang
sebenarnya.
Feminisme Perempuan (santriwati) dalam
pesantren
Seperti
halnya persoalan yang di kutip di atas mengenai keberadaan perempuan dalam
pesantren, apa memang benar mengalami
hal demikian? Pada dasarnya tradisi pesantren yang menempatkan
santriwati di khususkan ataupun di bedakan dengan santri putra sama sekali
tidak bermaksud membedakan secatra nilai ataupun merendahkan martabat
perempuan, dalam pesantren salaf, pengkajian terhadap teks kitab kuning tidak serta merta di tafsirkan dengan
mengkomsumsinya dengan mentah-mentah saja, namun di kaji secara mendalam, yang
pada kenyataanya apa yang ada di dalam
teks tersebut di sesuaikan dengan kultur kebudayaan pesantren yang notabene
kebudayaan islam,. Islam adalah agama yang membawa misi
besar, yakni rahmatan lil ‘alamin (rahmatbagi seluruh alam semesta).
Untuk menyebarkan rahmat bagi semua ini, Islam jugamembawa misi utama untuk
terwujudnya kemaslahatan, keadilan, dan kebebasan. Semua aturan Islam,
terutama yang tertuang dalam Alquran menjadi bukti akan hal tersebut.Kalaupun
kemudian muncul banyak penafsiran yang menyimpang dari misi-misi tersebut, hal
ini karena adanya penafsiran terhadap Alquran yang didasari oleh konteks sosial budaya
yang melingkupi para penafsirnya, atau juga karena pemahaman yang literal terhadap
teks-teks hadis Nabi Muhammad Saw
istilah feminism berasal dari bahasa latin (femina=women) ,
yang berarti memiliki sifatt-sifat wanitakata ini di pergunakan untuk
menunjukan kepada suatu teori persamaan kelamin(sexual equality)
Berbicara
feminism dalam pandangan islam, tidak di pungkiri kemunculan ya adalah sebuah
gerakan di barat yang ahirnya berpengaruh juga terhadap dunia, timur termasuk
Negara-negara berpenduduk muslim yang secara garis besar menganut sisitem
patriarki. Sehingga tidak mengherankan jika
dari islam sendiri kemudian lahir para feminis muslim yang mempunyai
perhatian terhadap kondisi masyarakat islam terutama yang menyangkut nasib kaum
perempuan.....tobe continueddd...........semoga bermanfaat..........
0 komentar:
Posting Komentar