BAGIAN 9
Hikmah-hikmah cinta DI PESANTREN
syarat cinta adalah
menyetujui tanpa membantah
dan syarat permusyuhan
adalah menentang,
serahkanlah diri kalian
kepada Tuhan kalian,
dan ridholah menerima
pengaturaNya
di dunia dan akhirat. [1]
MATANYA dari ke hari telah bersinar, sekarang ia bisa menikmati keindahan yang semula tertutupi hatinya, oleh
riya’ ujub dan takaburnya, sekarang ia bisa melihat dirinya meskipun tanpa
sebuah kaca di hadapannya. Dan alamlah yang menjadi cermin kehidupannya.
suasana pesantren semakin meneguhkan tekadnya, peranya dulu sebagai aktifis kampus kini berangsur-angsur ternetralisir oleh suasana yang ada, dulu yang ada di benaknya tak lebih dari egonya, Semakin menarik saja
pesantrennya ini, gumamnya dalam hati, untuk lihat dan tahu cewek cantik saja
dalam 1 minggu pun 1 X sudah beruntung, karena pondok putra-putri terhalang
oleh ndalem yai.
Benar adanya, bila ada
sekelebat gadis lewat depan ndalem, itu merupakan berkah buat santri, bayangkan
saja, untuk 1 minggu saja kesempatan itu tak musti ada.
Setelah
Farhan pulang dari madrasah Farhan bergegas menuju kamar kang Abdul.
Farhan “dull… kang Abdul, tolong Bantu sawirkan
kitabnya, AL -fiyahnya,
anu kang tadi ketinggalan
maknanya, maklum Farhan santri baru belum bisa cepat memaknai kitab gandul”.
Abdul “sini tak lihat, lafadh apa kang?”
Farhan “ini low kang lafad yabg satu baris ini….”
Abdul “ladalah, kamu itu gimana, ngaji kok
sampai ketinggalan satu baris, tadi gak mendengarkan ya? apa kamu tidur han!”
Farhan “iya
kang, habis kecapekan tadi di kebun”.
Abdul
“coba lafadnya di baca”.
Bismillairrohmaanirrohiim…. Teks Surat An Nahl Ayat 125[1]
ادْعُ إِلَى
سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk”
Abdul
“dengarkan dan siapkan polpenya dan tulis, tuh polpenya di clup dulu ke
mangsi”.
Farhan “di murodi sekalian kang !”
Abdul “aduh han, han…oke dengarkan ya”. ”Ajaklah
ke jalan Tuhanmu dengan penuh hikmah dan nasehat yang baik dan berdebatlah
dengan mereka dengan cara yang paling bagus”.
Farhan “maksudnya, ayat ini menyeru kita untuk
melakukan perbuatan baik dan melarang (menjauhi) perbuatan yang bertentangan
dengan agama”. [1]
Kata hikmah
disini bisa mengandung makna hukum. sebenarnya ia pernah mendengar tafsiran tujuan dari ayat ini dari Ayahnya yang menjelaskan padanya “bahwa dalam penyampaian dakwah kita akan
menghadapi beberapa macam orang, orang umum, orang awam maka kita ketika
berbicara denganya kita menggunakan bahasa mauidzoh, contohnya pengajian umum,
para Kyai mengunakan bahasa mauidzoh, yang kedua bila kita berhadapan orang
ahli hukum, maka kita menggunakan bahasa hikmah, bahasa yang lebih tinggi dari
bahasa mauidzoh, karena mereka ahli hikmah pandai berdebat, jadi kita harus
sabar dan baik meladeninya”, Farhan “kenapa
begitu, kan sama saja kang, orang awan juga kadang ngeyel kalau di bilangi”.
“Nah
betul juga kang, tapii… ini akan menempatkan penyampaian
kita tidak salah tempat dan salah faham, ataupuan nanti jadi buat orang
fahamnya salah karena kemampuanya berfikir rendah. di ibaratkan, ketika kita
bicara dengan orang awam bahasanya juga biasa saja, jangan sampai kalo bayi
kita kasih daging, sedang kita bicara dengan ahli hikmah dengan mauidzoh
pastinya Ia terendahkan ilmunya, di ibaratkan
orang dewasa netek susu ibunya
lagi, maka ingat, jangan sampai kee-baaa--lik!”
Farhan,
“hii horrrooor….!!!”.
“Looww,
bukan gitu han,, serius ini…”
“Iya-iya
kang…Farhan dengar sabda njenengan,, xixixixixi.”
Abdul
kembali lanjutka penjelasanya, orang awam ibarat bayi, Ia hanya mampu menerima
asi, sebaliknya ahli hikmah, Ia pintar debat dan menjawab, maka kita suguhkan
Ia daging, jangan terbalik, anak kecil di kasih daging, orang tua kamu kasih
netek ke ibu,,, hehehehe…
“Oow,,
begitu….ya kang…aku baru faham…..hmmm…”
“Insya
Allah, itu qoul di nukil dari Imam besar kita Imam ghozali”.
Farhan “1 lagi kang, kalao Kyai waktu ngaji
kadang Ia menambahkan Tanbih, apa maksudnya?”
Abdul “Maksudnya, mengingatkan, Kyai
mengingatkan kita agar tidak melupakan aturan pondok juga mengingatkan kita
untuk kembali menelaah apa yang pernah Ia sampaikan ke kita, karena kita
terkadang lupa juga ngglonjom[1],
begonooook kaang!!!!”
Ia
pun memahami apa yang selama ini ia
gelisahkan di rumah, banyak hal Ia pelajari dari hukum fiqih, tafsir, hadist
dan tauhid yang di pesantrenya yang cenderung mengajarkan tasawuf yaitu jalan
mencapai kemurnian jiwa kepa Tuhan
sejati akan kebenaran wahyu ilahi yang telah di turunkan kepada rosulnya dalam
pengertIan syariat yang jelas. [1]
[1] Asbab An-Nuzul Surat
An Nahl ayat 125 :
Para mufasir berbeda pendapat seputar sabab an-nuzul (latar belakang
turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah
Rasulullah SAW. menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud,
termasuk Hamzah, paman Rasulullah, Al-Qurthubi
menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada
Rasulullah SAW, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah) dengan
pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang
menjadi sebab turunnya ayat tersebut,lihat: Al-Wahidi, Al Wajid
fi Tafsir Kitab Al Ajizi, Mawaqi’ At-Tafasir ,Mesir, tt, hal. 440/
1.Lihat juga: Al-Wahidi An- Nasyabury, Asbâb an-Nuzul, Mawaqiu’ Sy’ab,
t-tp, tt, 191/1. Abu
Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim, Tahqiq
oleh Samy bin Muhammad Salamah, Dar at-Thoyyibah Linasyri Wa Tawji’, Madinah ,
1420 H, Hal.613/IV. Meskipun
demikian, ayat ini tetap berlaku umum untuk sasaran dakwah siapa saja, Muslim
ataupun kafir, dan tidak hanya berlaku khusus sesuai dengan sabab an- nuzul-nya
(andaikata ada sabab an-nuzul-nya). Sebab, ungkapan yang ada memberikan
pengertian umum. Ini berdasarkan kaidah ushul
[1] Syekh Abdulul qodir al-jailani .
tarjamah AL-FATHU ARROBANI, WAL-FAIDHU AR-RAHMANI . diva press2010. hal298
0 komentar:
Posting Komentar